MATA INDONESIA, JAKARTA – Korupsi bisa diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Praktik korupsi dapat dilakukan siapa saja, mulai dari masyarakat biasa, karyawan swasta, elit politik, bahkan pemimpin negara.
Di Indonesia hal ini masih marak diperbincangkan. Bahkan Transparency International, sebuah organisasi dunia yang bergerak memerangi korupsi mencatat, pada 2017 Indonesia menempati peringkat 98 dalam daftar negara terbersih dari praktik korupsi.
Bukan hanya di Indonesia, praktik korupsi juga marak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Korea Selatan. Salah satu pemicu praktik yang marak terjadi di Korea Selatan adalah perkembangan ekonomi yang begitu pesat.
Korupsi tidak hanya terjadi di kalangan lembaga keuangan saja, tapi juga di jajaran instansi penegakan hukum, kantor pajak, dan lembaga pertahanan nasional.
Beberapa contoh kasus korupsi yang pernah mengguncang Korea Selatan adalah kasus korupsi di Financial Supervisory Service (FFS), yang melibatkan sekitar 30 pejabat FSS, termasuk para pejabat senior. Mereka dituduh menerima suap sebagai imbalan terhadap longgarnya pengawasan atas beberapa bank yang dianggap bermasalah. Ada pula praktik sebagai ‘calo’ penyaluran kredit.
Mantan direktur jenderal FSS menjadi salah satu dari 30 pejabat FSS yang melakukan praktik korupsi pada saat itu. Ia dikabarkan meminta suap sekitar 200 juta won dari Bohae Savings – salah satu bank bermasalah yang dibekukan otoritas akibat modal bank-nya yang cekak.
Dalam industri olahraga, Korea Selatan juga pernah terjangkit budaya suap-menguap, dalam olahraga sepakbola misalnya. Terdapat dua orang yang didakwa terkait tuduhan membeli dua tiket pertandingan dan membayar dua pemain untuk mengatur hasil pertandingan. Mereka di duga memberikan uang sebesar 100 juta won kepada seorang kiper dan 120 juta won kepada pemain gelandang.
Kasus korupsi yang menimpa petinggi negara beserta keluarganya pun bukan lagi hal baru bagi Korea Selatan. Terdapat lima dari tujuh mantan presiden Korea Selatan yang terjerat dalam kasus korupsi.
Hal ini terjadi sebab kekuasaan yang begitu besar di tangan presiden sehingga mereka berhak membuat undang-undang, memveto undang-undang, dan mengangkat pejabat-pejabat tinggi yang kemudian menjadi lowongan besar bagi mereka untuk melakukan praktik korupsi.
Pemerhati masalah Korea Selatan mengatakan faktor lain yang mendorong terjadinya praktik korupsi oleh para petinggi negara adalah budaya membayar uang untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang sudah terlembagakan sejak Park Chung-hee menjabat presiden pada 1961.
Berbagai pihak yang menyadari kelemahan kekuasaan eksekutif mewacanakan berbagai langkah perubahan, antara lain dengan membagi kekuasaan presiden ke pejabat-pejabat terkait. Berikut nama-nama mantan presiden Korea Selatan yang terjerat kasus korupsi.
- Chun Doo-hwan (1980-1988)
Chun diputuskan bersalah karena menggelapkan dana negara dan diminta pengadilan untuk mengembalikan asetnya senilai 229 juta USD atau sekitar Rp 3,1 triliun. Hakim menjatuhkan hukuman mati tapi kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup. Ia dibebaskan pada Desember 1997.
- Roh Tae-woo (1988-1993)
Roh ditahan setelah dua tahun masa jabatannya sebagai presiden dilepaskan. Roh didakwa menererima uang senilai lebih dari 300 juta USD atau sekitar Rp 4,1 triliun dari 30 konglomerat. Roh dibebaskan pada Desember 1997 setelah mendapat pengampunan dari Kim Young-sam, presiden yang menjabat ketika itu.
- Roh Moo-hyun (2003-2008)
Kejaksaan menyelidiki dugaan dirinya menerima suap 6 juta USD atau sekitar Rp 82,3 miliar ketika menjabat sebagai presiden. Namun Roh mengatakan dirinya baru mengetahui ada penerimaan dana tersebut setelah tak lagi menjabat sebagai presiden.
Roh memutuskan mengakhiri dirinya dengan terjun bebas dari bukit di belakang rumahnya pada Mei 2009 akibat malu dengan skandal ini.
- Park Geun-hye (2013-2017)
Park Geun-hye ditangkap karena dakwaan menerima suap dan menyalahgunakan kekuasaan. Namanya ikut tersangkut setelah kawan lamanya, Choi Soon-il, yang dikenal sebagai penasehat tidak resmi presiden, divonis 20 tahun penjara setelah terbukti bersalah menerima suap dari sejumlah konglomerat.
Jaksa mendesak pengadilan untuk menjatuhkan vonis 30 tahun penjara bagi presiden perempuan pertama Korea Selatan ini, berikut denda sebesar 127 juta USD atau sekitar Rp 1,7 triliun.
- Lee Myung-bak
Lee diduga menerima suap mencapai 11 miliar won atau sekitar Rp 135 miliar. Jaksa mengatakan Lee Myung-bak diduga mengeluarkan pengampunan bagi petinggi kelompok usaha Samsung, Lee Kun-hee, dengan imbalan uang.
Di negeri ginseng, para pelaku praktik korupsi terutama bagi penyelenggara negara akan dijatuhi pidana mati dan penjara di atas 20 tahun beserta denda yang harus dibayarkan. Tidak hanya itu, para pelaku akan mendapatkan sanksi sosial yang luar biasa. Mereka akan dikucilkan oleh masyarakat bahkan oleh keluarganya sendiri.
Reporter: Sheila Permatasari