MATA INDONESIA, JAKARTA – Ibukota Indonesia kini sedang berulang tahun ke-492. Betulkah? Sebab ahli sejarah banyak yang meragukannya.
Bahkan sejarawan Jerman menyebut hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng. Sementara tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari jadi Jakarta sebenarnya berdasarkan penetapan Walikota Jakarta, Sudiro, selaku kepala daerah pertama ibu kota Indonesia itu.
Sudiro yang ditunjuk untuk masa jabatan 1953 sampai dengan 1958 merasa perlu menetapkan tanggal pasti dalam rangka memperingati hari lahirnya Jakarta. Dia tidak mau peringatan yang sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa kolonial, Pemerintah Belanda memperingati hari jadi Kota Batavia yang kini disebut Jakarta setiap akhir Mei. Alasannya akhir Mei 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta.
Untuk memperingati 250 tahun usia Batavia, pada 1869 dibangun monumen J. P. Coen.Tempat pembangunannya kini menjadi halaman Kementerian Keuangan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Di atas fondasi beton yang kokoh, berdiri Coen yang dengan angkuhnya menunjuk kearah bawah – menggambarkan dia berhasil menaklukkan Jayakarta. Patung yang menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda itu dihancurkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) yang mengubah nama Batavia menjadi Jakarta.
Penetapannya dilakukan pada 8 Agustus 1942 dengan nama lengkap Jakarta Toko Betsu Shi.
Sudiro tidak ingin tanggal-tanggal peringatan tersebut dan memilih peristiwa penaklukan Sunda Kelapa olah Fatahillah sebagai penanda lahirnya kota Jakarta.
Maka dia meminta pendapat para ahli sejarah seperti Mister Mohammad Yamin dan Mister Dr Sukanto, serta wartawan senior Sudarjo untuk meneliti tanggal pasti penaklukkan Sunda Kelapa oleh Fatahillah yang mengubah nama daerah pendudukan itu menjadi Jayakarta.
Waktu itu Sudiro sangat menyakini peristiwa itu terjadi pada 1527. Namun, tanggal dan bulannya tidak diketahui pasti.
Akhirnya, Mr. Dr. Sukanto menyerahkan naskah berjudul “Dari Jayakarta ke Jakarta.” Dalam naskah tersebut dia menduga 22 Juni 1527 adalah tanggal yang paling dekat dengan kenyataan dibangunnya Kota Jayakarta oleh Fatahillah.
Naskah tersebut kemudian diserahkan oleh Sudiro kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara untuk dibahas. Ternyata dewan itu setuju dan menetapkan tanggal tersebut sebagai berdirinya Kota Jakarta.
Tepat 22 Juni 1956, Sudiro mengajukannya dengan resmi pada sidang pleno DPRD Kota Jakarta dan usulnya itu diterima dengan suara bulat. Selanjutnya, sejak saat itu, tiap 22 Juni diadakan sidang istimewa DPRD Kota Jakarta sebagai tradisi memperingati berdirinya Kota Jakarta.
Namun, Adolf Heyken SJ dengan tegas menyatakan hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng. Dia mengaku tidak menemukan satupun dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan 50 tahun sesudahnya (saat VOC berkuasa), tetap disebut Sunda Kelapa.
Dia juga meragukan Fatahillah memberi nama Jayakarta, karena dia orang Arab. Sementara Jayakarta adalah bahasa sansekerta yang berarti “kemenangan yang dicapai.” Teorinya tidak mungkin seorang Arab menggunakan bahasa sansekerta.
Ada pula yang berpendapat tanggal 22 Juni 1527 dipilih karena bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW saat itu.
Kini sejarah itu tidak menjadi fokus Jakarta. Sebab, kota urban terbesar di Indonesia tersebut memiliki masalah yang sangat urgen ketimbang memperdebatkan tanggal lahir yaitu kemacetan, banjir, kualitas udara yang sehat dan tentu saja kepadatan penduduk.