MATA INDONESIA, JAKARTA – Radio amatir di Malabar bentukan Pemerintah Hindia Belanda ternyata menjadi “tempat pendidikan pribumi” yang di kemudian hari sangat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Radio Malabar begitu para praktisi radio amatir menyebut bekerja pada very low frequency (VLF) 49,2 kHz dengan daya 2,5 MegaWatt. Hal yang membuatnya gokil adalah antena pemancarnya membentang di atara dua pegunungan sehingga disebut “berg-antenna.”
Pemancar itu menggunakan teknologi arc poulsen yaitu busur listrik untuk membangkitkan arus listrik searah sehingga menjadi frekuensi radio alternating current.
Teknologi tersebut menghasilkan gelombang pembawa yang terkendali dan menjadi teknologi radio pertama yang bisa digunakan mengirim suara sehingga dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan.
Pada 17 Agustus 1945, para praktisi radio amatir ikut mengumandangkan melalui sarana sederhana untuk menyebarluaskan Proklamasi Bangsa Indonesia ke seluruh dunia.
Setelah itu, sebagian praktisi radio amatir tetap bertahan sebagai radio pejuang dan sebagian lagi membentuk Persatoean Amatir Radio Indonesia (PARI) yang juga untuk memudahkan koordinasi antar-radio amatir dalam menyerap teknologi.
Namun, tahun 1952 situasi negara tidak menguntungkan dengan munculnya berbagai pemberontakan. Akibatnya pemerintah khawatir radio amatir akan dimanfaatkan para pemberontak maka radio amatir milik perorangan dilarang ‘mengudara.’ Hanya radio amatir milik pemerintah yang boleh beroperasi.
Pada periode 1965-1966, radio amatir dimanfaatkan para mahasiswa terutama mahasiswa publisistik yang tergabung dalam gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menginformasikan ‘perjuangan’ mereka menumbangkan Orde Lama dan menuntut pembubaran PKI. Radio itu hanya bertahan hingga 26 Februari 1966.
Selepas 1966 perkembangan radio amatir semakin pesat sehingga frekuensi semakin tidak terkendali dan pengertian radio amatir menjadi kabur. Beberapa tokoh Amatir Radio berupaya untuk menjernihkan suasana dengan membentuk banyak perkumpulan.