Asal Muasal Dinar dan Dirham, Mata Uang yang Selalu Stabil

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Dinar dan dirham identik sebagai mata uang yang dipakai sejak peradaban Islam muncul.

Hal itu memang benar adanya, bahwa dinar dan dirham digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagai alat bertransaksi menggantikan cara lama, yakni barter (tukar menukar barang).

Namun, penggunaan emas dan perak sebagai alat bertranskasi sudah dilakukan jauh sebelum itu. Bahkan, penggunaan emas dan perak sebagai mata uang disebut-sebut telah berusia lebih dari 3.000 tahun.

Bangsa Lydia pada periode 570 – 546 SM telah menggunakan emas dan perak sebagai alat bertransaksi. Bangsa Yahudi dan Yunani kemudian mengikuti jejak bangsa Lydia.

Sementara, dinar dan dirham bukan mata uang yang murni diciptakan oleh kalangan Islam, melainkan mendapat pengaruh dari bangsa Romawi dan Persia. Istilah dinar berasal dari bahasa Romawi yaitu denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia yaitu drachma.

Beredarnya dinar dan dirham di Jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam, yang berada di bawah pengaruh Romawi, dan Yaman, yang berada di bawah pengaruh Persia. Sebelumnya, bangsa Arab berdagang secara barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri.

Perlahan, dinar dan dirham mulai diterima dan diadopsi sebagai sistem mata uang bangsa Arab. Sejak itu, barter pun ditinggalkan.

Penggunaan dinar dan dirham itu berlangsung hingga Islam muncul. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menolak menggunakan dinar dan dirham sebagai alat perniagaan, bahkan justru menerima dan memodifikasinya. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW, selain menetapkan dinar dan dirham sabagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli, juga membuat standar tiga jenis dirham yang beredar kala itu menjadi satu jenis dirham, yakni dirham 14 qirat.

Karena dinar dan dirham adalah uang yang berbahan dasar emas, nilai tukarnya sejak dahulu selalu tetap sehingga tidak pernah mengalami inflasi maupun deflasi. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, satu ekor kambing dihargai dengan satu dinar atau setara Rp2,2 juta. Harga itu hingga saat ini kurang lebih masih sama.

Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham sendiri, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh seorang sahabatnya, yakni Arqam bin Abi Arqam. Dia adalah seorang ahli menempa emas dan perak saat itu.

Pada masa Umar bin Khatab, dinar dan dirham diberi tambahan tulisan hamdalah dan Muhammad Rasulullah sebagai identitas kuat umat Islam. Umar juga menegaskan perihal timbangan atau bobot berat emas dan perak, yakni tujuh dinar bobot atau nilainya setara dengan sepuluh dirham.

Pemerintahan Islam pertama kali memiliki dinar ketika masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Tepatnya, sekitar 50 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Saat itu, bobot atau berat dinar di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan mengacu pada solidus, yakni mata uang Romawi Byzantium yang lazim beredar kala itu.

Seiring dengan meluasnya kekuasaan Islam, ekspansi pun dilakukan ke wilayah kekaisaran Persia, seperti Irak, Iran, Bahrain, dan Transoxania. Selain itu, menyebar juga ke kekaisaran Romawi, seperti Syam, Mesir, dan Andalusia, yang menyebabkan perputaran mata uang itu semakin meningkat.

Dengan kekuatan dinar dan dirham yang tahan akan hantaman roda ekonomi, para ulama menjadikan dinar dan dirham sebagai tolok ukur dalam menentukan nisab zakat. Hal itu karena nilai dinar dan dirham yang selalu tetap. Misalnya, Imam Hanafi menyebut ukuran nisab zakat yang disepakati ulama untuk emas adalah 20 mitsqal dan telah mencapai satu haul (satu tahun). Sementara untuk perak adalah 200 dirham.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Diharapkan Jadi Pendorong Inovasi dalam Pemerintahan

Jakarta - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, diharapkan dapat mendorong inovasi serta memperkuat sinkronisasi...
- Advertisement -

Baca berita yang ini