MATA INDONESIA, JAKARTA – 20 Juli 1934 atau 86 tahun silam, Adnan Buyung Nasution dilahirkan di Batavia (kini Jakarta). Namun masa kecilnya dihabiskan di Kota Pelajar, Yogyakarta.
Buyung, demikian ia biasa dipanggil adalah sosok yang tangguh. Ketika berusia 12 tahun, Buyung hidup sendiri dengan adik semata wayangnya, Samsi Nasution. Mereka berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu pula, ibu Buyung yang bernama Ramlah Dougur berjualan es cendol. Sementara ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda pada tahun 1947 hingga 1948.
Sang ayah merupakan sosok yang bisa dibilang memberikan banyak pengaruh pada Buyung kecil. Rachmat adalah seorang pejuang gerilya dan reformasi. Dia juga merupakan pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Selain itu, dia juga merintis The Time of Indonesia.
Sebagai seorang pejuang sudah jadi hal lumrah, kalau rumah Rachmat kerap jadi tempat persinggahan bagi para pejuang maupun aktivis, salah satunya adalah Tan Malaka.
Sejarawan Harry Poeze pun turut memberikan penjelasan soal hal ini. Ketika berada di Yogyakarta awal Februari 1946, Tan memang seringkali berpindah-pindah tempat, dari satu rumah pengikutnya ke rumah pengikutnya yang lain, mulai Ismail sampai Sukarni.
“Selama bulan-bulan itu ia juga selalu menginap di rumah Rachmat, sehingga anaknya “Adnan Buyung Nasution“ harus memberikan kamarnya kepada seorang ‘oom’ tak bernama,” tulis Harry Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid pertama.
Tan Malaka, kata Adnan Buyung, sering kali datang ke rumahnya, membahas persoalan politik yang tengah berkecamuk di republik saat itu. Buyung kecil ingat betul apa yang dibicarakan Tan kepada ayahnya, yaitu soal kritik kepada pemerintahan Sjahrir yang waktu itu dianggap terlalu lemah menghadapi Belanda.
“Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar, kalau perlu pukul! Jangan ajak dia berunding,” katanya menirukan Tan Malaka.
Maling yang tak perlu diajak berunding maksud Tan Malaka adalah Belanda. Waktu itu Perdana Menteri Sjahrir, alih-alih memobilisasi perlawanan fisik terhadap Belanda, malah memilih jalan diplomasi di meja perundingan. Bagi Tan Malaka, langkah tersebut sama artinya mengajak maling berunding di dalam rumah sendiri.
Ia juga terkenang atas beberapa petuah dari penulis buku Madilog tersebut. Salah satunya soal perjuangan hidup.
“Buyung, hidup itu adalah perjuangan. Perjuangan berarti berani berbuat, berani mengambil risiko. Risiko apa? Masuk bui, dalam pembuangan, masuk hutan lalu penjara, bahkan konsekuen sampai mati,” ujarnya menirukan omongan Tan Malaka.
“Hidup ini ibarat roda pedati, yang berputar terus, sesekali kita di atas dan sesekali di bawah. Jika kita sedang di atas, jangan takabur. Lihatlah di bawah. Orang-orang yang menderita. Sebaliknya jika engkau berada di bawah dan menderita, jangan pernah menyerah. Tapi yakinlah, bahwa suatu saat dengan ridho Allah SWT engkau akan naik kembali,” lanjutnya menirukan perkataan Tan Malaka.
Petuah itu rupanya melekat dalam benak Adnan Buyung. Dalam setiap kesempatan wawancara atau diskusi bertema sejarah, pengacara berpenampilan khas berambut perak itu kerap menuturkan cerita yang sama. Bahkan menurutnya, Tan Malaka selalu tidur sekamar dengan Adnan Buyung karena tak ada kamar lain yang bisa digunakan sebagai tempat tidur Tan kecuali kamarnya.
Dalam sebuah kesempatan lain, Adnan Buyung juga pernah berkisah tentang Tan yang tidur di kamarnya. Buyung kecil memilih tidur di bawah dan Tan tidur di ranjang. Tan Malaka pun menceritakan banyak hal kepadanya.
“Dari situ saya tahu kalau orang ini sangat cerdas,” kenangnya dalam sebuah diskusi Tan Malaka di Cikini beberapa tahun silam.
Pengacara gaek yang kisah hidupnya berwarna-warni itu kini telah tiada. Ia wafat pada usia 81 tahun, 23 September 2015 lalu, setelah sempat dirawat selama beberapa hari di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Selamat jalan bang dan bahagia di Surga abadi.