MATA INDONESIA, JAKARTA – Gak banyak yang tahu sosok pahlawan nasional Abdulrahman Saleh kecuali kamu pernah pergi ke Malang menggunakan pesawat terbang karena akan mendarat di Bandara yang menyandang nama itu. Padahal lelaki yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1974 punya peran yang sangat penting bagi kemerdekaan Indonesia.
Keterlibatannya pada upaya-upaya memerdekakan Indonesia dari cengkeraman Kolonial Belanda dimulai saat masih mahasiswa Stovia, sekolah calon dokter.
Dia sangat aktif di perkumpulan Jong Java yang ikut mengangkat Sumpah Pemuda pada 1928, Indonesia Muda hingga Kepanduan Bangsa Indonesia (cikal-bakal pramuka Indonesia).
Abdulrahman adalah anak yang pintar dan cerdas. Maka selepas lulus Stovia ayahnya mengirim ke “Geneeskundige Ilogeschool” Batavia (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba).
Hasilnya, lelaki kelahiran Kwitang, Jakarta 1 Juli 1909 tersebut sangat menguasai ilmu faal (berkaitan dengan tubuh manusia) dan menjadi satu-satunya orang Indonesia yang menguasainya saat itu. Maka, Abdulrahman Saleh juga dijuluki Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Namun, kemahirannya bukan hanya di bidang kedokteran, dia juga sangat menggemari oprek-mengoprek radio, khususnya radio telegrafi. Kepiawaiannya itu berhasil merakit sebuah stasiun radio amatir di Salemba yang sangat membantu pergerakan kemerdekaan saat Indonesia diduduki Jepang selama 3,5 tahun.
Kemahirannya di bidang teknik, juga bukan hanya pada urusan radio semata, tetapi juga mesin-mesin mobil dan mesin pabrik. Saat itu masih jarang orang dengan banyak keahlian tersebut, maka Abdulrahman sering dibutuhkan dalam setiap perjuangan ‘bawah tanah’ Zaman Belanda dan Jepang.
Dia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio telegrafi. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, Abdulrahman Saleh menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka.
Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Di kemudian hari dia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.
Setelah banyak makan asam-garam pergerakan rakyat sipil, Abdulrahman diminta aktif di Angkatan Udara. Sebab, semasa mahasiswa dia aktif di perkumpulan olahraga terbang dan memperoleh ijazah atau surat izin terbang.
Maka pada 1946, dia dipercaya menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun. Pada masa itu, Abdulrahman juga mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang.
Meskipun sudah menjadi personel Angkatan Udara, dia tidak melupakan profesinya sebagai dokter. Di waktu luangnya Abdulrahman tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.
Kepahlawanannya diakui negara karena dia menjalankan tugas pada Juli 1949 untuk memperoleh pesawat terbang, instruktur dan obat-obatan ke India. Saat itu, Belanda sedang melancarkan agresi militer pertamanya.
Saat akan menuju India media massa mengabarkannya besar-besaran. Sepulang dari India pesawat Dakota yang dikemudikan Adisutjipto dan Abdulrahman Saleh mampir di Singapura mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya.
Tepat 29 Juli 1947, ketika pesawat itu berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi izin pemerintah Inggris dan Belanda.
Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip di Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta. Dia melihat pesawat yang ditumpangi Adi Soetjipto dan Abdulrahman Saleh ditembaki dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara.
Pesawat itu terkena peluru lalu kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian hingga terbakar. Adisutjipto dan Abdulrahman Saleh gugur dalam tugas.
Peristiwa heroik itu, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, nama Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.
Sementara nama Abdulrahman Saleh kini melekat pada setiap taruna dan taruni Akademi Angkatan Udara (AAU) dengan sebutan “karbol.”
Nama itu, adalah julukan untuk Abdulrahman Saleh dari dosen-dosennya di sekolah kedokteran.
Saat itu, dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap, tinggi, berbadan atletis, kulit sedikit gelap dengan rambut keriting (ikal), sehingga dipanggil dengan sebutan Krullebol (rambut ikal/si kriting yang cerdas).
Melekatkan julukan “karbol” kepada setiap taruna-taruni AAU merupakan inisiatif Marsekal TNI (Purn) Saleh Basarah. Dia ingin taruna dan taruni AAU memiliki kecerdasan dan jiwa juang seperti Abdulrahman Saleh.
Pada tahun 1963 panggilan Karbol disosialisasikan di kalangan Kadet AU melalui Senat Taruna dalam sebuah apel pagi dilapangan Maguwo. Dan sejak tahun 1963 sebutan Karbol telah melekat pada diri Taruna AAU.
Abulrachman Saleh dimakamkan di Yogyakarta dan diangkat menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 November 1974.