5 Perempuan Cantik Ini Jadi Pahlawan Selama Perang Dunia II

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Peran perempuan dalam Perang Dunia II sangat besar. Tidak sedikit di antara mereka yang turun langsung ke medan perang, mulai dari penembak jitu yang berhasil membunuh ratusan musuh hingga mata-mata dari komplotan rahasia.

Lantas, siapa saja perempuan yang berkat keberanian, kecerdasan, dan tekad mereka yang tiada akhir berhasil menjadi pahlawan selama konflik berdarah?

  1. Nancy Wake, Si Tikus Putih

Nancy Wake lahir di Selandia Baru pada 1912 sebelum pindah bersama keluarganya ke Sydney, Australia. Pada usia 16 tahun, dia melarikan diri dari rumahnya untuk menjadi perawat. Selama perjalanannya, dia menerima sedikit warisan dari seorang bibi yang membantu membiayainya ke New York, London dan akhirnya Paris, di mana dia mendapatkan pekerjaan sebagai reporter surat kabar.

Selama di Prancis, Wake berhasil membuat dirinya menjalani kehidupan yang mewah. Pada tahun 1939, dia menikah dengan pengusaha kaya bernama Henri Fiocca dan menetap bersamanya di Marseille.

Setahun berikutnya, tepatnya ketika Jerman menginvasi Prancis pada Mei 1940, Wake dan Fiocca terjun ke dalam gerakan perlawanan, membantu ribuan pengungsi Yahudi dan tentara Sekutu yang melarikan diri ke Spanyol.

Wake mendapat reputasi sebagai si Tikus Putih yang dijuluki musuh-musuhnya, dan menjadi target utama Gestapo, polisi rahasia negara Jerman. Ketika jaringan yang dibangunnya membelot ke Jerman tahun 1942, Wake melarikan diri ke Inggris. Sementara suaminya, Fiocca, yang tidak ikut kabur akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh Gestapo karena menolak memberitahukan keberadaan Wake.

Selama di Inggris, Wake tergabung dengan Satuan Operasi Khusus Inggris (SOE), di mana dia melatih diri sebagai mata-mata dan operasi gerilya. Pada bulan April 1944, dia kembali ke Prancis dalam operasi terjun payung dan mengoordinasikan serangan terhadap pasukan Jerman. Dalam operasi itu, Wake memimpin tujuh ribu pejuang perlawanan.

Selama berbulan-bulan terlibat dalam misi mematikan, Wake telah membunuh seorang prajurit Nazi dengan tangan kosong, mengeksekusi seorang wanita yang telah memata-matai Jerman, hingga bersepeda sejauh 500 kilometer melalui pos pemeriksaan Nazi yang berbahaya untuk mengirimkan kode radio kepada Sekutu.

Wake menerima banyak penghargaan setelah perang untuk jasanya, termasuk George Medal dari Inggris, Medal of Freedom dari Amerika Serikat, Médaille de la Résistance dan Croix de Guerre dari Prancis. Pada tahun 1985, Wake menerbitkan autobiografi yang laris terjual berjudul sesuai julukannya, ‘Tikus Putih’.

  1. Lyudmila Pavlichenko, Wanita Pembawa Kematian

Lyudmila Mikhailovna Pavlichenko yang lahir pada 1916 adalah penembak jitu dari Uni Soviet di Tentara Merah selama Perang Dunia II. Dia tercatat menjadi penembak jitu wanita paling sukses dalam sejarah.

Pavlichenko dijuluki sebagai ‘Wanita Pembawa Kematian’ karena kemampuannya yang luar biasa dengan senapan sniper serta keberhasilannya dalam bertugas di Tentara Merah selama pengepungan Kota Odessa dan Sevastopol.

Setelah dia terluka dalam pertempuran tersebut oleh peluru mortir, dia dievakuasi ke Moskow yang membuat para penembak jitu Nazi tidak dapat menemukannya. Ketika Pavlichenko pulih dari luka-lukanya, dia melatih penembak jitu Tentara Merah lainnya dan menjadi juru bicara publik untuk Tentara Merah.

Pada tahun 1942, sebagai representasi Tentara Merah, dia melakukan tur ke Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris. Setelah perang berakhir pada tahun 1945, dia ditugaskan kembali sebagai Peneliti Senior untuk Angkatan Laut Uni Soviet.

Pavlichenko meninggal karena stroke pada 10 Oktober 1974 di usianya yang ke-58 tahun. Maskipun dianugerahi Bintang Emas Pahlawan Uni Soviet, kisahnya dihilangkan dari sejarah.

  1. Roza Shanina, Teroris Tak Terlihat dari Prusia Timur

Roza Georgiyevna Shanina yang lahir pada 3 April 1924 adalah penembak jitu Uni Soviet selama Perang Dunia II yang dikonfirmasi telah melakukan 59 pembunuhan tentara Nazi dalam waktu 10 bulan, termasuk dua belas tentara selama Pertempuran Vilnius.

Kematian saudaranya karena tentara Nazi, membuat Shanina akhirnya mendaftarkan diri sebagai tentara Uni Soviet dan berangkat ke medan perang. Dia ingin membalaskan kematian saudaranya itu.

Awalnya, militer Uni Soviet menolak perempuan sebagai tentara, namun karena kondisi yang mendesak, Shanina dan ribuan wanita lainnya diperbolehkan ikut perang. Dia kemudian bergabung dengan divisi penembak jitu wanita Uni Soviet dan lulus dengan sejumlah prestasi.

Shanina melakukan gerilya sendirian di garis depan selama beberapa bulan di medan perang dan secara aktif mengisi catatan hariannya. Semakin lama berada di garis depan sendirian, dia menceritakan kondisinya yang semakin memburuk, di mana dia kedinginan, kelaparan dan hampir setiap hari berada dalam hujan tembakan.

Pada 17 Januari 1945, catatan hariannya tertulis bahwa dia mengalami muntah-muntah seharian dan kesehatannya semakin memburuk. Seminggu kemudian, posisi Shanina diketahui oleh musuh dan dia dikejar-kejar satu kompi pasukan.

Shanina akhirnya tertangkap dan mendapatkan penyiksaan serta pelecehan dari pasukan musuh.  Pada 27 Januari 1945, jenazah Shanina ditemukan oleh dua tentara Uni Soviet yang sedang berpatroli. Jenazahnya penuh luka tembak dan tergeletak begitu saja di tanah.

Keberanian Shanina sudah mendapat pujian selama hidupnya atas jasanya untuk membela di garis depan meskipun dirinya perempuan. Sebuah surat kabar Kanada kemudian menggambarkan Shanina sebagai ‘Teroris Tak Terlihat dari Prusia Timur’.

  1. Noor Inayat Khan, Sang Ratu Mata-Mata

Noor Inayat Khan adalah operator radio wanita pertama yang dikirim ke Prancis selama pendudukan Nazi. Dia lahir pada tahun 1914 di Moskow dari ayah keturunan India, yang merupakan seorang guru Sufi, dan ibu berkebangsaan Amerika Serikat. Keluarganya pindah ke London dan kemudian Paris, di mana Noor dididik di bidang kedokteran dan musik, lalu memulai kariernya sebagai penulis. Setelah kekuasaan Prancis jatuh, Noor melarikan diri ke Inggris dan bergabung dengan Satuan Operasi Khusus Inggris (SOE).

Organisasi itu merupakan jaringan yang bergerak melakukan sabotase hingga memata-matai pergerakan pasukan musuh. Noor dilatih selama setahun sebagai operator radio. Pada tahun 1943, dia diterbangkan ke Prancis untuk bergabung dengan perlawanan Prosper di Paris, dan diberi nama berkode rahasia ‘Madeleine’. Noor tetap di Prancis mengirimkan pesan ke London, meskipun anggota jaringannya yang lain telah ditangkap.

Setelah dikhianati oleh seorang wanita Prancis, dia ditangkap oleh Gestapo. Namun, Noor berhasil melarikan diri, meskipun akhirnya ditangkap kembali dan dikirim ke penjara Pforzheim di Jerman. Selama di sana, dia disiksa, dirantai dan diisolasi.

Pada September 1944, Noor dan tiga agen lainnya dipindahkan ke kamp konsentrasi Dachau dan ditembak mati. Kata terakhirnya yang diucapkan saat regu tembak Jerman mengangkat senjata mereka, adalah ‘liberté’. Atas jasanya, Noor secara anumerta dianugerahi George Cross oleh Inggris pada tahun 1949.

  1. Irena Sendler, Malaikat Ghetto Warsawa

Irena Sendler yang lahir pada 1910 adalah seorang pekerja sosial Polandia yang belum berusia 30 tahun ketika Perang Dunia II meletus di negaranya.

Dia menyaksikan Nazi mengambil alih Polandia dan mendirikan ghetto (distrik tempat tinggal) Yahudi di Warsawa. Di ghetto, ratusan ribu penduduk berdesakan dalam ruang kecil hingga sebagian orang mulai sekarat karena kondisi yang buruk.

Sebagai pekerja sosial non-Yahudi, Sendler meyakinkan para pejabat untuk mengizinkannya masuk ke dalam ghetto agar bisa menolong mereka. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelundupkan anak-anak keluar dari ghetto, menggunakan dokumen identitas palsu untuk menyelundupkan mereka ke luar negeri.

Sendler terus melacak dengan cermat identitas masing-masing anak yang diselundupkan, menuliskannya di atas kertas, dan mengamankannya dalam toples yang dia kubur di bawah tanah.

Ketika aktivitas Sendler ditemukan pada tahun 1943, dia dipenjara dan disiksa oleh petugas. Namun, Sendler bersikeras tetap tutup mulut.

Akhirnya, Sendler dijatuhi hukuman eksekusi karena aktivitas yang dianggap sebagai bagian kriminal. Namun, dia diselamatkan pada menit terakhir oleh teman-temannya dalam gerakan perlawanan bawah tanah.

Ketika Sendler dibebaskan, dia tidak pulang, justru kembali ke aktivitas bawah tanahnya dan terpaksa hidup bersembunyi.

Sendler dan rekan-rekannya menyelamatkan setidaknya 2.500 anak-anak Yahudi selama kegiatan penyelundupan mereka.

Selama beberapa dekade setelah perang, upaya Sendler disembunyikan dari mata publik saat dia menjalani kehidupan pribadinya di Warsawa. Kemudian pada akhir 1990-an, sekelompok siswa sekolah menengah di pedesaan Kansas ditantang oleh guru sejarah mereka untuk mengerjakan proyek independen.

Para siswa mengetahui kisah Sendler dan tercengang karena mereka belum pernah mendengar tentangnya sebelumnya, mengingat dampaknya yang luar biasa terhadap kehidupan ribuan anak dan keluarga.

Mereka kemudian mencoba melacak kuburan Sendler dan menemukan bahwa perempuan itu masih hidup. Setelah itu, mereka memutuskan terbang ke Polandia untuk bertemu Sendler secara langsung.

Akhirnya, hampir enam dekade setelah tindakan heroiknya, Sendler ditemukan dan dihormati atas perannya dalam menyelamatkan nyawa ribuan anak-anak yang tidak bersalah. Sebagian melalui upaya siswa Kansas, dia dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian dua kali, pada tahun 2007 dan 2008.

Sendler meninggal pada tahun 2008 di usia 98 tahun, dan kisahnya diceritakan kembali dalam sebuah film berjudul ‘The Courageous Heart of Irena Sendler’, yang keluar pada tahun 2009.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Tegaskan Tidak Ada Tempat untuk Judi Online di Indonesia

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya untuk memberantas judi online di tanah air. Pihak Istana melalui Menteri Sekretaris...
- Advertisement -

Baca berita yang ini