13 Tahun Istana Baso Terbakar, Ini Asal-usul Kerajaan Kerajaan Pagaruyung yang Masih Jadi Misteri

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pada 27 Februari 2007 lalu, Istano Baso atau yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, ludes dilalap api. Kala itu, hujan deras melanda Kenagarian Pagaruyung, Kecamatan Tanjuang Ameh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Hujan yang turun sejak pagi itu mulai reda menjelang malam, namun suara petir masih terdengar menggelegar.

Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.46 WIB, petir menyambar bagian atap Istano Basa Pagaruyung. Api pun seketika berkobar. Bagian Atap yang terbuat dari ijuk ikut mempercepat api melalap semua bangunan dan isi istana kebanggaan warga Sumatera Barat itu.

Menurut saksi mata, api awalnya membakar dua bagian belakang Istano Pagaruyung. Api kemudian dengan cepat menjalar ke gonjong. Hingga pukul 22.00 WIB api belum benar-benar padam, meski sejumlah mobil pemadam kebakaran dari sejumlah daerah dikerahkan ke lokasi.

Setelah kebakaran tersebut, Istana pun di bangun kembali sama persis dengan aslinya. Istana dibangun menggunakan berbentuk empat persegi panjang seperti rumah panggung, dengan atap khas minang kabau yang menonjol seperti tanduk kerbau. Di dalam bangunan ini terdapat 11 Gonjong, 17 Tonggak dan memiliki tiga lantai.

Saat ini Istana Baso menjadi salah satu destinasi yang wajib anda kunjungi di Sumatera Barat. Istana tersebut menjadi sejarah kerajaan di Minangkabau, yang lengkap dengan peninggalan dari setiap unsur kehidupan masyarakatnya.

Pesona megahnya bangunan Istana Pagaruyung merupakan primadona wisata sejarah di Sumatera Barat. Meski demikian, sejarah kemunculan kerajaan tersebut masih simpang siur. Tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya Pagaruyung karena masih terbatasnya sumber yang ditemukan untuk menjelaskan kerajaan tersebut.

Dikutip dari buku karya Gustama, Faisal Ardi yang berjudul “Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara”, mengungkapkan dalam prasasti Batusangkar disebutkan bahwa Adityawarman pernah menjadi raja di Pagaruyung. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa ketika Adityawarman memerintah di sana, ia memindahkan pusat pemerintahan Pagaruyung ke wilayah pedalaman Minangkabau.

Pengaruh Islam di Pagaruyung diperkirakan berkembang sekitar abad ke-16 oleh para musafir dan ahli agama yang singgah ke wilayah Aceh dan Malaka. Orang yang dianggap pertama kali menyebarkan Islam di Pagaruyung adalah Syaikh Bruhanuddin Ulakan, salah satu murid dari ulama Aceh bernama Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala).

Pada abad ke-17, kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya bercorak agama Hindu, berubah menjadi bercorak Islam dan menggantinya menjadi kesultanan Pagaruyung. Menurut Tambo adat Minangkabau, raja Pagaruyung yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam ke Pagaruyung, maka segala bentuk peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai dihilangkan dan diganti dengan aturan Islam. Walaupun masih ada sebagaian kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan, tetapi tidak bertentangan dengan agama Islam.

Kesultanan Pagaruyung mulai mengalami kemunduran setalah terjadi perang saudara antara kaum Padri (Ulama) dengan orang-orang yang masih mengingkan pemerintahan sesaui dengan adat istiadat sebelumnya.

Perang yang melibatkan dua kelompok masyarakat itu terjadi cukup lama, terhitung sejak tahun 1803 sampai 1838. Pemicu utama dari peperangan tersebut adalah adanya penolakan dari sebagain masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama.

Masih banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan lama yang bertentangan dengan agama Islam, seperti perjudian, minuman keras, penggunaan madat, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam Islam, dan lain sebagainya.

Kekuasaan raja di Pagaruyung sudah sangat lemah, banyak wilayah kekuasaan Pagaruyung yang jatuh ke tangan Aceh, dan banyak masyarakat yang menolak segala peraturan yang dibuat oleh raja. Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman melakukan penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung pada 1815.

Sultan Arifin Muningsyah dan anggota keluarga kerajaan terpaksa menyelamatkan diri dari ibukota kerajaan ke wilayah Lubuk Jambi. Kerajaan pun semakin terdesak oleh serangan yang dilakukan kaum Padri, sehingga mereka meminta bantuan Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah melakukan perjanjian dengan pemerintah Belanda untuk bekerja sama melawan kaum Padri dan mengambil alih kembali kerajaan Pagaruyung. Namun perjanjian itu dianggap oleh Belanda sebagai tanda penyerahan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.

Setelah pasukan Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari wilayah Pagaruyung, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Pagaruyung dan menempatkan raja sebagai bawahannya. Kemudian Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah meminta bantua kaum Padri untuk menyingkirkan Belanda, tetapi upaya tersebut gagal dan ia dibuang ke wilayah Batavia dengan tuduhan penghianatan terhadap perjanjian yang telah dibuat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini