Mata Indonesia, Yogyakarta – Kementerian Keuangan telah mengumumkan rencana kenaikan pajak hiburan sebesar 40 – 75 persen pada tahun 2024. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah, yang selama ini cenderung bergantung pada dukungan dari pemerintah pusat.
Namun, keputusan ini menuai protes dari Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DIY, yang menganggap kebijakan tersebut tidak terarah.
Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengkritik kebijakan tersebut karena dianggap tidak melibatkan diskusi dengan asosiasi terkait.
“Kalau begitu mengapa pemerintah tidak langsung meningkatkan hingga 100 persen jika memang perlu. Jika ini diberlakukan tentu merugikan sektor pariwisata secara keseluruhan,” keluhnya dikutip, Sabtu 20 Januari 2024.
Deddy juga menekankan bahwa kenaikan pajak hiburan, alih-alih memberikan keuntungan, justru dapat berdampak negatif. Dia merujuk pada negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, yang malah menurunkan pajak hiburan untuk menarik lebih banyak wisatawan dan meringankan beban konsumen.
Dalam pandangannya, pemerintah seharusnya menetapkan tarif pajak yang wajar, berkisar antara 10 hingga 20 persen.
“Kalau mau mempertahankan pendapatan daerah Pemda DIY harusnya tak perlu menyetujui kenaikan pajak hiburan tersebut. Mengingat dampak besar dapat ditimbulkan, terutama bagi bisnis anggota PHRI yang beroperasi di sektor hiburan,” terang dia.
Deddy menambahkan bahwa kenaikan pajak hiburan ini dianggap bertentangan dengan upaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang berusaha meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia, di mana hiburan menjadi salah satu daya tarik utama bagi para pelancong.