Peran Pemerintah dalam Ketahanan Pangan: Antara Harapan dan Kenyataan

Baca Juga

Mata Indonesia, Yogyakarta – Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang besar di bidang pertanian. Bahkan petani di Indonesia bisa dibilang cukup terampil hingga menciptakan vegetasi baru yang kerap dilirik dunia.

Kendati begitu, petani-petani di Indonesia kerap menempati urutan paling kerdil dalam tingkatan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanian dan pangan.

Di sisi lain, ekspor dan impor di Indonesia pada bidang pertanian, justru lebih banyak melakukan impor. Misalnya saja beras, padahal petani di Indonesia cukup banyak dan tak jarang mengenalkan produk padi berkualitas.

Tepat pada Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober ini sorotan tajampun mengarah terhadap negara 200 juta penduduk yang belum sejahtera padahal memiliki segudang SDA.

Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Gunawan Budiyanto mengungkapkan ketahan pangan di Indonesia dipengaruhi di antaranya petani dan kebijakan dari pemerintah.

Gunawan mengungkapkan jika saja ada atmosfer terhadap kualitas petani dilakukan secara merata, tak dipungkiri akan memunculkan banyak petani-petani muda lain yang lebih berkualitas.

Seperti saat pandemi Covid-19 lalu, banyak petani yang beradaptasi dengan baik dengan melakukan sistem ekonomi barter. Petani justru banyak yang untung saat itu.

Kendati begitu campur tangan kebijakan politik justru membuat petani yang beradaptasi terkena imbas.

“Sejauh ini petani itu kurang dibimbing untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan maksimal. Nah pangan di Indonesia justru dipengaruhi dengan kebijakan politik,” ujar dia.

Kebijakan itu pun berkaitan dengan impor yang terjadi di Indonesia. Menurut Gunawan kegiatan impor itu justru menguntungkan beberapa pihak saja. Sedangkan petani di Indonesia hanya menerima imbasnya.

Hal itu pun juga terjadi di level Provinsi. Contohnya makanan gudeg yang terkenal di Kota Jogja. Gudeg sendiri merupakan makanan olahan dari buah nangka yang diracik menjadi makanan gurih.

Meski disebut buah, nangka yang diolah menjadi gudeg sendiri merupakan kuliner berupa sayuran yang digandrungi banyak masyarakat di Kota Pelajar.

Berbicara buah nangka, di DIY sendiri nyaris tidak ada wilayah yang khusus memproduksi nangka. Ujung-ujungnya, impor lagi yang dilakukan.

Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati mengakui bahwa komoditas nangka yang diolah menjadi gudeg kerap meningkat ketika ramadan dan lebaran. Namun di lain dua hari besar itu permintaan gudeg juga cukup banyak.

“Sempat permintaan tinggi 50 persen, bahkan 2 kali lipat,” kata Herum.

Komoditas nangka muda sendiri DIY harus mengimpor dari Lampung dan Sumatera Selatan. Memang tak jarang warga Jogja sendiri menanam nangka, kendati begitu luasnya tak berhektar-hektar dan hanya sebagian kecil masyarakat yang tak sengaja menanam buah tersebut.

Impor Tidak Buruk

Berbicara impor sebenarnya tak menjadi hal buruk saja bagi masyarakat. Pakar Agribisnis UMY, Oki Wijaya setuju impor itu dilakukan dengan tujuan saling memberi manfaat untuk perdagangan dalam dan luar negeri.

Meski begitu, harus ada kajian mendalam terkait ketahanan pangan seperti stabilitas harga, banyaknya cadangan pangan yang dibutuhkan hingga banyaknya preferensi produk impor.

Oki melihat seperti komoditas beras. Mengapa di Indonesia harus melakukan impor beras?. Mengutip dari Bank Dunia, harga beras di Indonesia justru jauh lebih mahal 20 persen dibanding harga beras global.

Hal ini pula yang menjadi faktor petani di Indonesia tak diperhatikan secara jelas, padahal harga dari petani sendiri sudah paling minim. Namun kebijakan yang akhirnya menjadi kendala mereka.

Masyarakat Bertahan Mandiri

Berbicara ketahanan pangan, masyarakat di Indonesia justru banyak yang akhirnya bertahan dengan caranya sendiri. Hal itu akibat dari kekurangan lahan untuk bertani termasuk kebijakan pemerintah yang tak terkontrol karena campur tangan politik. Hal itu dituding menjadi cikal bakal masyarakat banyak mengalami persoalan, mulai dari stunting, hingga harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi.

Seperti yang dilakukan Daliman, warga Kampung Danurejan, yang tinggal di dekat Kali Code, melihat kondisi lahan di Kota Jogja yang minim ia pun berinisiatif bertani dengan luas wilayah rumahnya yang terbatas.

Bagian rumah dengan luas 10 meter persegi yang berada di atap rumahnya disulap menjadi tempat bertani menggunakan polybag, dan galon bekas.

Inovasi Daliman akhirnya ditiru beberapa warga dengan membuat nama komunitas Kebun Kali Code. Tak hanya Daliman, warga lainnya, Fitri Nasichudin juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia masih memiliki lahan kecil di sebelah rumahnya.

Komoditas yang ditanam pun beranekaragam. Misal cabai, sayur mayur dan buah yang memang tak membutuhkan waktu lama untuk panen.

Fitri dan Daliman merupakan segelintir warga yang melihat bahwa keperluan pribadi memang harus disiapkan secara mandiri di tengah kondisi lahan yang sempit dan banyaknya kebijakan beraroma politik untuk persoalan pangan di skala kecil hingga besar.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Konsultan Properti: Program 1 Juta Apartemen Prabowo-Gibran Bantu Anak Muda Dapat Hunian Layak

Jakarta – Konsultan property, Direktur Strategic Cushman & Wakefield Indonesia, Arief Rahardjo mengungkapkan program pembangunan 1 juta apartemen per...
- Advertisement -

Baca berita yang ini