Catatan Dokter Muda: Perang dalam Buai Kemerdekaan

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Senin, 17 Agustus 2020 adalah hari penting bagi bangsa Indonesia. Negeri tercintaku telah genap berusia 75 tahun. Tahun-tahun sebelumnya biasanya akan disambut oleh berbagai momentum euforia yang terpancar di seluruh negeri. Sayangnya, tahun ini sedikit berbeda. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Momen 17 Agustus yang berlangsung di rumah kali ini membuat saya, seorang dokter muda yang masih dalam masa pendidikan, ingin menuliskan keresahan saya di tengah peperangan yang belum kita menangkan ini.

Coronavirus Disease 2019 atau yang lebih dikenal dengan COVID-19 merupakan sebuah penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus berjenis Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCov-2).  Keberadaaan virus ini diketahui sejak 31 Desember 2019 di Wuhan, Cina. Pada saat itu negara Tirai Bambu dihebohkan dengan kemunculan kasus pneumonia (radang paru) yang belum diketahui dengan jelas musababnya. Satu minggu kemudian, tepatnya 7 Januari 2020, Cina akhirnya berhasil mengidentifikasi keberadaan virus ini. Sang virus tidak tinggal diam, ia mulai menggerogoti negeri-negeri lainnya, termasuk negeri Zamrud Khatulistiwa. Hal ini menyebabkan World Health Organization (WHO) mengeluarkan status pandemi untuk kasus COVID-19 pada 11 Maret 2020.

Jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air masih terus meningkat. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Republik Indonesia merilis per tanggal 22 Agustus 2020 pukul 12:00 WIB jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 151.498 orang, jumlah kasus sembuh sebanyak 105.198 orang, dan jumlah kasus meninggal dunia sebanyak 6.594 orang. Jika ditinjau dari skala global, Indonesia menempati peringkat ke-23 dilihat dari total kasus COVID-19. Negeri Paman Sam dan Negeri Samba masih menduduki singgasana peringkat satu dan dua untuk jumlah kasus COVID-19 terbanyak di seluruh dunia.

Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menghadapi pandemi ini, salah satunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beberapa hal yang dibatasi selama PSSB berlangsung meliputi

(1) kegiatan sekolah dan tempat kerja,

(2) kegiatan keagamaan,

(3) kegiatan di tempat atau fasilitias umum,

(4) kegiatan sosial dan budaya, dan

(5) operasi moda transportasi.

Tentu saja kebijakan ini memberikan konsekuensi dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara.

Dalam sektor pendidikan, para siswa diminta untuk menjalani pendidikan jarak jauh menggunakan gawai di rumah masing-masing. Metode ini bukan jadi masalah jika siswa yang bersangkutan memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang memadai, namun sebaliknya hal ini menjadi suatu beban tersendiri bagi mereka yang berasal dari kaum proletar. Sektor ekonomi juga tertampar dengan adanya pandemi ini. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani, menyampaikan setidaknya ada tiga dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi ini. Pertama, adanya penurunan signifikan dari konsumsi rumah tangga atau daya beli. Kedua, investasi yang kian melemah akibat ketidakpastian yang ditimbulkan pandemi ini. Ketiga, penurunan ekspor, harga komoditas, harga minyak, dan harga batu bara yang menjadi basis perekonomian Indonesia membuat pertumbuhan ekonomi kian melamban. Di tengah PSBB tentu saja rakyat mulai gerah karena tidak bisa melakukan kegiatan seperti hari-hari biasa. Mulai bermunculan jeritan-jeritan rakyat yang disuarakan melalui berbagai media. PSBB pada akhirnya bertransformasi menjadi PSBB transisi yang dikenal dengan istilah new normal atau kebiasaan baru. Hal ini dihadirkan untuk mengejar ketertinggalan di sektor-sektor selain sektor kesehatan.

Sebenarnya dibandingkan dengan sektor pendidikan dan sektor ekonomi, sektor yang paling terdampak dari pandemi ini adalah sektor kesehatan. Penyakit yang ditimbulkan oleh pandemi ini adalah sesuatu yang baru, asing, dan masih harus terus dipelajari guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan holistik mengenai penyakit ini. Hadirnya pandemi ini secara tidak langsung menyingkap kondisi mitigasi kesehatan di negara kita yang ternyata masih harus banyak berbenah. Saat ini rasio tempat tidur berdasarkan jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio hanya sebesar 1,2:1.000 penduduk. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menyatakan bahwa beberapa rumah sakit rujukan COVID-19 sudah mulai terisi penuh, terutama pada kasus COVID-19 berat yang membutuhkan perawatan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Kondisi ini tidak lepas dari tren grafik jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia yang masih terus menajak. Sayangnya, kondisi ini justru tidak diimbangi dengan kepatuhan rakyat Indonesia terhadap protokol kesehatan sebagai bagian ikhtiar untuk menekan kasus COVID-19. Berbagai narasi-narasi sumbang bertebaran di media sosial untuk meremehkan pandemi ini, termasuk untuk abai terhadap protokol kesehatan yang digaungkan oleh pemerintah dan tenaga kesehatan.

Salah satu narasi yang sering saya dengar adalah sebagai berikut “COVID-19 sebenarnya tidak ada! Itu hanya akal-akalan saja agar sektor kesehatan meraup untung sebesar-besarnya! Tenaga kesehatan untung besar!”.

COVID-19 bukan bualan belaka. Ia nyata dan ada. Virus ini telah berhasil diidentifikasi.

Ia merupakan saudara dari virus yang sudah kita kenal sebelumnya, yaitu MERS dan SARS. COVID-19 dapat menimbulkan berbagai manifestasi pada orang yang terinfeksi, dengan spektrum keparahan yang luas. Umumnya infeksi virus ini menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan seperti batuk dan sesak napas yang biasanya disertai dengan demam. Pada kasus berat gejala yang ditimbulkan dapat berupa gagal napas yang dapat berakibat fatal. Pada kelompok orang yang memiliki imunitas baik, infeksi virus dapat tidak menimbulkan gejala signifikan sehingga acap kali dipandang sebelah mata. Infeksi virus ini menjadi jauh lebih berbahaya bila mengenai individu yang telah memiliki riwayat penyakit lain sebelumnya, hal ini dikenal dengan istilah komorbid.

Terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi keberadaan virus ini dalam tubuh manusia. Dua pemeriksaan yang sudah kita kenali bersama diantaranya ada rapid test dan swab test (dikenal juga dengan istilah Polymerase Chain Reaction/PCR). Keduanya memiliki cara kerja yang berbeda. Rapid test bekerja dengan cara mengidentifikasi keberadaan immunoglobulin dalam darah manusia, sedangkan swab test/PCR mengidentifikasi sang virus melalui materi genetik RNA-nya. Akurasi untuk rapid test diperkirakan mencapai 80 persen, sedangkan akurasi swab test mencapai 95 persen. Kedua pemeriksaan ini tidak mungkin secara tiba-tiba muncul tanpa dasar ilmiah. Kehadiran kedua pemeriksaan ini tentu saja didasari oleh keberadaan dari virus itu sendiri. Dengan demikian, anggapan bahwa virus ini sebenarnya tidak ada adalah suatu opini yang keliru,

Segala bentuk pelayanan kesehatan terkait COVID-19 dilakukan berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI. Banyak sekali beredar narasi yang menyatakan bahwa COVID-19 adalah ladang bisnis bagi tenaga kesehatan. Melalui media sosial dan grup chatting dengan mudahnya seseorang menggoreng isu bahwa rakyat telah dibodohi oleh tenaga kesehatan agar mereka dapat meraup untung sebesar-besarnya. Pesan saya terkait hal ini:

(1) jangan mudah percaya hal-hal yang beredar di media sosial sebelum Anda membuktikan kebenaran yang Anda baca,

(2) jangan menyebarkan informasi yang Anda sendiri belum ketahui kebenarannya, dan

(3) jika memang Anda menemukan bahwa ada kejanggalan atau kesalahan prosedur dalam penanganan pasien COVID-19, lalu Anda sudah yakin kebenarannya, maka laporkan!

Hal yang paling membuat hati saya perih di tengah peperangan ini adalah tudingan-tudingan yang tiada henti ditujukan kepada tenaga medis. Jika benar COVID-19 ditujukan untuk memberikan keuntungan bagi tenaga medis, terutama dokter dan perawat, lantas apakah ini misi bunuh diri? Nyatanya banyak tenaga medis yang tumbang dalam peperangan ini. Ketika saya melihat laman media sosial Ikatan Dokter Indonesia, banyak guru-guru saya yang telah gugur dalam peperangan ini. Dokter-dokter yang telah berjuang untuk menyembuhkan pasien, namun ternyata tertembak oleh peluru virus COVID-19 itu sendiri. Mereka yang rela meninggalkan rumah dan keluarga untuk menolong kehidupan orang lain, namun ternyata tidak pernah kembali lagi ke rumah yang mereka rindukan. Mereka telah dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa karena telah menyelesaikan tugas mulia di muka bumi. Berapa banyak lagi tenaga kesehatan yang akan gugur dari perang yang belum usai ini? Entahlah. Mari sempatkan lima detik Anda untuk mengirimkan doa bagi tenaga kesehatan kita yang telah gugur. Semoga mereka ditempatkan di sebaik-baiknya tempat di sisi-Nya. Amin.

Peperangan ini masih berlanjut, namun banyak yang merasa seakan-akan sudah merdeka. Indonesia tidak akan pernah bisa memenangkan peperangan ini jika tenaga kesehatan dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan dari rakyat Indonesia. Peperangan ini bukan hanya tentang tenaga kesehatan melawan virus COVID-19, namun juga peperangan melawan ego dan melawan kebodohan. Seharusnya bangsa Indonesia bergotong royong dan bersatu-padu untuk merdeka dari pandemi ini, bukan justru berlaku denial terhadap realita yang sedang terjadi dengan mengganggap semua baik-baik saja. Kita sedang tidak baik-baik saja!

Akhir kata, saya mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk sadar bahwa kita belum merdeka dari pandemi ini. Kita masih diintai oleh COVID-19. Peperangan ini tidak akan pernah usai jika masyarakat tidak mau mematuhi protokol kesehatan. Maka dari itu, mari untuk mematuhi protokol kesehatan berupa (1) mengenakan masker, (2) menjaga jarak, dan (3) menghindari keramaian orang banyak. Bersatulah Indonesia! Kita bisa menghadapi pandemi ini dan muncul sebagai pemenang! Ingat kata pepatah:

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Penulis: Syarifa Soraya Fairuzha, S.Ked

Ig:@SyarifaSoraya

FB:@Syarifa Soraya Fairuzha

 

23 KOMENTAR

  1. Penyampaian narasi dalam artikel sangat baik, sistematis, terukur, menyentuh, dan termotifasi untuk berbuat yang terbaik untuk merdeka dari COVID 19. Selamat BERJUANG DOKTER MUDA melalui profesi yang menjadi garis kehidupan dr Ifa.
    Terus menulis dalam bentuk tulisan apapun yang bermanfaat, supaya bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Amin

  2. Tulisan ini memberikan gambaran yg sangat jelas tentang covid-19 bahwa virus ini ada dan sedang mewabah. Isi tulisan ini hendaknya dapat menjadi pedoman bagi masyarakat agar memiliki pemahaman yg benar tentang civid-19 dan sekaligus menangkal issue negatif yg menyesatkan dalam banyak berita. Tulusan ini juga memberikan gambaran yg perlu didukung betapa perjuangan keras para ahli medis demi untuk memutus pandemi. Tulisan ini sesuai kenyataan di lapangan dan dapat menjadi suatu solusi.

    • Buat cerita/ artikel yg lbih baik lg biar masyarakat punya keyakinan bhw covid 19 itu bak malaikat maut.
      Masak ys ditempat km guru ngaji yg se hari” kontak dg puluhan anak yg berguru ngaji padanya diponis corona setelh msuk rmh sakit karena penyakit sejk lama sesak napas trus mninggal , lalu anak” didiknya yg puluhan yg kontak setiap hr sehat” itu sampe skrg, dan itu terjadi 2 bln yg lalu, secara akal shat klo itu menular dan berbahaya anak2 km dan km semua pasti sdh banyak yg terpapar dan korban, ini yg membuat km tdk percaya lg dng penyakit corona, lbh berbahaya DBD klo sdh 1 yg terjangkit mk yg lain bs terjangkit tdk perduli anak2/ org dewasa,

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Webinar Inspiratif Universitas Alma Ata: Peluang dan Tantangan Karir di Dunia UI/UX di Era Digital

Mata Indonesia, Yogyakarta - Menghadapi era digital, Universitas Alma Ata berkomitmen mendorong mahasiswanya untuk membangun karir di dunia UI/UX dengan menggelar webinar bertajuk “Membangun Karir di Dunia Desain UI/UX: Peluang dan Tantangan di Era Digital” pada Sabtu (21/12/2024).
- Advertisement -

Baca berita yang ini