Trauma, Channing Tatum Ungkap Tak Pernah Nonton Film Marvel, Kenapa?

Baca Juga

MATA INDONESIA, LOS ANGELES – Baru-baru ini Channing Tatum mengungkapkan bahwa ia ada trauma dengan Marvel Studios. Rasa trauma itu muncul karena kekecewaannya dengan Marvel yang tak melanjutkan proyek film ‘Gambit’ yang akan diperankan olehnya.

Mengutip dari Variety, Tatum bercerita awalnya film ‘Gambit’ ini sudah jadi bahan perbincangan sejak 2014 karena keikutsertaannya dalam proyek film tersebut.

Tadinya film itu diproduseri oleh dirinya dan Reid Carolin. Ia juga akan berperan sebagai karakter Remy LeBeau alias Gambit yang merupakan salah satu mutan yang ada di ‘X-Men’.

Sayangnya, selama bertahun-tahun proyek tersebut tak berkembang dan akhirnya dibatalkan. Setelah Disney mengambil alih semua haknya atas karakter-karakter ‘X-Men’ dan ‘Fantastic Four’ pada 2019.

Sejak itu, Tatum mengaku jadi trauma saat melihat film-film Marvel, khususnya film-film Marvel Cinematic Universe (MCU) yang begitu sukses.

“Begitu (film) Gambit pergi (batal), aku sangat trauma,” kata Tatum.

Ia juga mengatakan bahwa ia tak bisa melihat film Marvel apa pun karena rasa traumanya tersebut. Tatum merasa kecewa pada Marvel karena karakter Gambit begitu bermakna baginya.

“Aku mematikan Marvel di kepalaku. Sejak saat itu aku tak bisa melihat film Marvel apa pun. Aku menyukai karakter itu (Gambit). Itu terlalu menyedihkan, rasanya seperti kehilangan teman. Karena aku sangat siap untuk memerankannya,” ungkapnya.

Akan tetapi, Channing Tatum masih sangat berharap ia bisa memerankan karakter Gambit di masa mendatang. Jika suatu saat nanti Marvel Studios tertarik memunculkan karakter Gambit di MCU.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini