MATA INDONESIA, JAKARTA – Belakangan sedang ramai dengan istilah “Bubble Burst” pada perusahaan start up. Bubble burst sering dikaitkan dengan penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam perusahaan rintisan ini.
Bubble burst mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan nilai pasar yang naik sangat cepat, terutama pada harga aset. Selain itu, inflasi yang cepat itu kemudian juga diikuti oleh penurunan nilai yang cepat juga atau kontraksi.
Karena hal tersebut lah, fenomena itu disebut sebagai bubble burst atau lonjakan gelembung yang dimana biasanya lonjakan harga aset tersebut didorong oleh perilaku pasar yang tinggi.
Sementara itu, aset biasanya diperdagangkan pada harga atau dalam kisaran harga yang jauh melebihi nilai intrinsik aset. Dengan kata lain, harga tidak selaras dengan dasar aset.
Bubble burst terjadi setiap kali harga barang naik jauh di atas nilai riil barang tersebut. Fenomena ini biasanya dikaitkan dengan perubahan perilaku investor.
Jika melihat fenomena bubble burst di Indonesia, hal ini terjadi di kalangan start up yang timbul tenggelam. Banyak start up bermunculan namun tak sedikit yang gulung tikar.
Perusahaan rintisan ini juga banyak merekrut karyawan lewat strategi bakar uang, walaupun di sisi lain juga banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lebih lanjut, gelembung di pasar ekuitas dan ekonomi menyebabkan sumber daya ditransfer ke area pertumbuhan yang cepat. Pada akhir gelembung, sumber daya dipindahkan lagi, menyebabkan harga mengempis.
Sebagai contoh, ekonomi Jepang mengalami gelembung atau bubble pada 1980-an setelah bank-bank negara itu sebagian dideregulasi atau harus menerapkan aturan baru. Fenomena ini menyebabkan lonjakan besar dalam harga real estat dan harga saham.
Reporter : Adinda Catelina Fadjrin