Memilukan, Terungkap Isi Buku Harian Goo Hara yang Ditulis Sejak Masih Jadi Mahasiswa

Baca Juga

MATA INDONESIA, SEOUL – Kematian Goo Hara pada 24 November 2019 masih meninggalkan luka. Isi buku harian mantang anggota girlgroup bernama KARA itu pun diungkap ke publik.

Program Spotlight JTBC baru-baru ini menerbitkan sejumlah halaman dalam buku harian almarhum Goo Hara. Buku harian itu telah ditulis oleh Hara sejak dia masih mahasiswa.

“Hara, tidak apa-apa. Tidak sakit. Tidak masalah,” salah satu bunyi tulisan Hara.

Beberapa halaman menunjukan Hara menulis dengan semangat optimis dan mendorong dirinya untuk mencari perhatian dari orang-orang untuk merencanakan masa depan karir dan keuangan.

Tak hanya itu, buku harian itu menunjukkan luka Hara. Dia meminta pengampunan dari Tuhan dan merawatnya. Penyanyi itu selalu berusaha menghibur dirinya ketika menghadapi kesulitan dalam hidup.

Isi buku harian Goo Hara

Pada 18 Oktober 2019, penyanyi itu menulis: “Bagaimana mengakhiri ini. Berani dan kuat.” Dalam buku harian itu, Hara merasa sensitif dan itulah penyebab ketidakbahagiaannya.

“Apa yang kamu katakan, kamu pikir itu menjadi kenyataan. Saya harus melindungi diri sendiri dan tahu bahwa saya sangat baik. Tidak, saya tahu betul bahwa saya lebih sensitif daripada yang lain dan saya tahu diri saya sendiri sampai menakutkan. Janganlah kita mencuri energi kita dan menjaga diri kita sendiri agar tetap bahagia dan berpikir positif,” mengutip buku harian Hara.

“Saya ingat dan ingin berada di dekat ibu saya. Saya selalu menyembunyikan emosi itu, tidak dapat mengungkapkannya. Saya lebih putus asa daripada siapa pun. Terluka … tidak, saya mungkin terluka.”

Ungkapan “Tidak apa-apa” paling banyak ditulis. JTBC memberikan buku harian itu kepada seorang profesor psikologi di universitas untuk dianalisis.

Profesor Kim Tae Kyung mendapati Hara terus-menerus menggunakan ungkapan seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja. Menurut Profesor Kim, Hara mencoba membujuk dirinya untuk berpikir positif tetapi karena itu tidak mungkin, ia mulai menjadi takut.

“Keberadaanku merepotkan. Siapa saya? Apa yang harus saya lakukan? Saya bertanya-tanya siapa saya. Apakah saya diizinkan untuk mencintai? Apakah saya perlu mencintai?,” tulis Hara.

Profesor Kim mencatat bahwa ungkapan-ungkapan ini sering digunakan oleh individu yang tidak pernah dicintai tanpa syarat. Mereka selalu harus bekerja keras untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang seseorang. Tapi kemudian, cinta itu mudah diambil.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini