MINEWS, JAKARTA-Herniated nucleus pulpposus (HNP) atau yang sering disebut Saraf kejepit adalah salah satu gangguan saraf yang dapat disembuhkan dengan metode invasif atau operasi. Sayangnya, banyak penderita yang takut melakukan pengobatan tersebut.
Namun, kini ada metode minimal invasif yang dikenal dengan endoskopi. Lebih spesifik, metode yang terbaru adalah Percutaneous Endoscopic Lumbar Disectomy (PELD). Memang endoskopi PELD masih jarang diketahui oleh masyarakat umum, padahal teknik ini merupakan teknik terbaru dalam mengobati saraf kejepit.
Pakar nyeri Mahdian Nur Nasution, SpBS menyebutkan bahwa HNP keluhan yang banyak dialami orang. Hal ini diakibatkan tingginya aktivitas fisik sehingga membuat bantalan tulang rentan mengalami kerusakan. Pada kasus ringan HNP bisa diatasi dengan terapi obat-obatan atau fisioterapi. Tapi, dalam kasus yang parah, jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan kelumpuhan.
Endoskopi PELD adalah teknik bedah minimal invasive terbaru untuk mengatasi nyeri akibat kompresi bantalan tulang pada saraf-saraf tulang belakang. Teknik ini pertama kali dilakukan di Jerman sekitar tahun 1987 untuk mengatasi penonjolan diskus (bantalan sendi ruas-ruas tulang belakang).
dr. Mahdian mengatakan pengobatan atas HNP atau Saraf Kejepit bisa dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu konservatif dan operatif atau intervensi. Konservatif hanya diberi obat atau fosioterapi yang dilakukan pada awal HNP. Jika kasusnya sudah berat, maka harus dilakukan intervensi atau operasi.
Menurutnya, Endoskopi PELD memiliki kelebihan pada manajemen pengobatan nyeri yang tidak mengubah struktur tulang. Untuk menghilangkan nyeri, diambil bantalan yang menyebabkan saraf terjepit. Operasi ini masuk ke dalam teknik operasi yang baru yang bersifat minimal invasive. Luka sayatannya pun kurang dari 1 cm, lebih tepatnya hanya 7 mm saja.
“Pada teknik Endoskopi PELD, risiko kambuh kembali lebih kecil karena tidak mengganggu stabilitas tulang belakang,†kata Mahdian.
Sedangkan, teknik operasi konvensional, lanjut dia mengakibatkan perdarahan yang lebih banyak, risiko infeksi pun lebih besar. Selain itu, pemotongan tulang lamina pada teknik konvensional dapat mengakibatkan masalah instabilitas tulang hingga kekuatan tulang yang menurun di kemudian hari.