Tragedi 1965 dan Pemberontakan PKI di Madiun 1948, Apakah Berkaitan?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejumlah kalangan menyebutnya Tragedi 65 berkaitan dengan Peristiwa Madiun tahun 1948. Padahal beberapa sejarawan justru menyebut dua peristiwa ini sebagai ahistoris dan tidak kontekstual.

Asvi Warman Adam, selaku sejawaran LIPI menyebut korelasi dua peristiwa berjarak 17 tahun seakan menganggap apa yang terjadi hanyalah aksi balas dendam antara komunis dan Islam.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo berpendapat kedua hal itu memang semestinya dikaitkan. Apabila tidak dikaitkan dengan peristiwa 1948, kita bisa mencurigai bahwa itu merupakan upaya untuk menghilangkan jejak.

Aktivis muda Nahdlatul Ulama mengatakan tentang memorinya terhadap pembunuhan para kiai dan santri dalam pemberontakan PKI di Madiun telah membuat kelompok Islam mudah termakan berita bohong dan mengalami fobia.

Pembenaran Atas Pembunuhan

Belakangan, muncul upaya sejumlah pihak mengaitkan tragedi 65 dengan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun yang menewaskan banyak ulama dan santri.

Sejarawan dari Universitas Nasional Jakarta, Andi Achdian mengatakan perbandingan itu tidak kontekstual dan ahistoris.

Melalui BBC News, ia mengatakan ”Saya kira memang perbandingannya ahistoris, jadi konteksnya berbeda. Yang pertama adalah konteksnya revolusi pada pembentukan negara baru dan yang kedua terkait konsolidasi negara baru yang di situ ada persaingan politik internal.”

Andi menambahkan, ”Memang ada kajian-kajian yang menyebut ada kekerasan terhadap kiai dan sebagainya. Itu tidak bisa disangkal, dan saya kira persoalannya lebih pada pembenaran saja terhadap tindak kekerasan pada 1965.”

Pendapat itu bersamaan dengan Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI bahwa peristiwa Madiun pada tahun 1948 itu dijadikan alasan karena dalam peristiwa ada beberapa kiai terbunuh. Itu dijadikan alasan untuk pembenaran terhadap pembunuhan yang dilakukan terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh PKI pada tahun 1965.

Peristiwa 48

Andi mengungkapkan adanya persaingan politik antara kekuatan kiri dan kanan yang menjadi cikal bakal pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948.

Kabinet Amir Sjarifuddin lengser dan digantikan oleh Kabinet Hatta atas kesepakatan Perjanjian Renville. Akibatnya, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra sebagai wilayah Indonesia.

Kemudian, Amir membentuk Front Demokrasi Indonesia (FDR) yang kemudian berafiliasi dengan PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI).

Kelompok komunis pada saat itu belum memiliki kekuatan besar seperti tahun 1965. Organisasi komunis adalah kelompok-kelompok kecil dan tidak terorganisir dengan baik. Lalu, datanglah Muso yang ingin memperbaiki kekuatan komunis di Indonesia.

Muso, Amir, dan kelompok-kelompok kiri berencana menguasai daerah strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo untuk menyebarkan gagasan.

Dalam pemberontakan itu, memakan banyak korban jiwa termasuk ulama, santri, dan gubernur Jawa Timur yaitu Ario Soerjo.

Andi menambahkan, konflik antara komunis dan kelompok Islam Masyumi saat itu telah menciptakan ketegangan. Terjadi unsur persaingan di antara kekuatan militer, saat itu Siliwangi yang sedang hijrah di Jawa Tengah.

Asvi Warman memperjelas, intrik (penyebaran kabar bohong) dalam internal tentara terjadi ketika rencana pemerintah menerapkan kebijakan restrukturisasi-rasionalisasi mendapat tanggapan berbeda dari kalangan militer dan laskar rakyat.

Fobia Komunis

Menurut Andi Achdian, peristiwa Madiun menjadi pemicu munculnya “memori anti-komunis” dan ketakutan pada komunis yang terus ada hingga peristiwa 65. Ia mendapat ini saat melakukan riset di wilayah Kediri, Jawa Timur.

Sebagian besar dari mereka adalah dari warga NU. Banyak cerita-cerita kuat tentang peristiwa 48 mulai dari pembunuhan ulama hingga sentimen kepada agama Islam. Tak heran sentimen anti-PKI kembali membara di Jawa Timur saat peristiwa 65.

Adanya fobia dan membuat mereka mudah termakan berita bohong anti-komunis ketika peristiwa 65 disebabkan oleh memori tentang pembunuhan para kiai dan santri saat pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Reporter: Annisaa Rahmah

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Perjuangkan Kesejahteraan Buruh dan Petani, Dani Eko Wiyono Siap Maju Calon Bupati Sleman Melalui Jalur Independen

Mata Indonesia, Sleman - Alumni aktivis 98 sekaligus aktivis yang selalu menyuarakan aspirasi buruh/pekerja Daerah Istimewa Yogyakarta, Dani Eko Wiyono ST. MT ini bertekad maju bakal calon bupati Sleman dalam Pilkada Sleman nanti. Dani menilai, hingga saat ini, mayoritas kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh masih dianggap hanya sebagai tulang punggung ekonomi bangsa tanpa diperjuangkan nasib hidupnya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini