MATA INDONESIA, LONDON – Di sudut Pasar Leather Lane di London, Inggris, sebuah kios milik William Mitchel tampak ramai dipenuhi pengunjung. Jam makan siang waktu itu, dan mereka mengantre demi nasi Tempe yang hanya dijual setiap Rabu, Kamis, dan Jumat.
”Saya membeli nasi dengan dua lauk, kari kuning dan Tempe jinten. Menurut saya ini makanan yang paling enak di dua pasar yang ada dekat sini. Dan juga ini vegetarian, jadi tidak terasa penuh di perut,” kata Paul, salah satu pelanggan.
William Mitchel adalah warga Inggris yang belajar membuat Tempe di Jawa. Dia memproduksi sendiri di rumahnya di pinggir kota London, dimasak, lalu dijajakan di pasar. “Saya beli setiap kedai ini buka,” kata pengunjung lainnya.
“Anda tahu dari mana tempe berasal?”
“Ya, Indonesia”
Tempe sudah semakin dikenal di luar negeri. Warga Indonesia yang tinggal di Jepang, Rustono, malah dijuluki sebagai raja tempe. Dia membangun usahanya sejak tahun 1997 dan kini telah mengolah satu ton kedelai per hari. Tak cuma di Jepang, produksi tempenya sudah merambah ke Meksiko dan Korea.
”Di dunia internasional Tempe itu sudah dikenal dari Indonesia. Ada orang Indonesia bilang sudah dipatenkan di Jepang, itu tidak benar. Itu bohong besar, saya berkali-kali menjelaskan itu,” kata Rustono.
“Di luar negeri mereka bilang ini ‘magic food’, kalau di Meksiko dibilangnya ‘heaven food‘. Mungkin berlebihan tapi mereka bilangnya begitu, apalagi di Jepang. Jadi masyarakat dunia menganggap itu luar biasa sekali, tidak bisa dibandingkan dengan makanan yang lain. Dengan junk food misalnya, jauh.”
Tempe memang dikenal sebagai makanan sehat yang punya protein tinggi dan daya cerna yang bagus. Banyak ahli gizi mengatakan bahwa kandungan proteinnya hampir menyamai daging, susu, atau telur.
Satu keistimewaan lain adalah kandungan vitamin B12 yang umumnya hanya ditemui pada produk hewani. Dalam proses fermentasi, vitamin ini terbentuk sehingga bagus untuk kaum vegetarian.
Mental tempe
Tapi penghargaan yang tinggi di luar negeri ini tampak tak sebanding dengan persepsi masyarakat di negara sendiri. Rustono, mencontohkan frasa ‘mental tempe’ yang biasa diartikan lemah atau orang yang merasa terjajah.
Sebagai pengusaha, dia juga kerap dianggap remeh. “Ada waktu itu teman saya bilang, ‘jauh-jauh ke Jepang kok buat Tempe.’ Intonasinya kelihatan sekali mengesankan sebagai sesuatu yang murahan, enggak mutu. Masih saya rasakan. Paradigma itu masih kuat,” katanya.
Inilah satu paradigma perlu diubah. Dan Rustono tidak sendirian.
Amadeus Driando Ahnan-Winarno, 24, bersama ibu dan kakeknya mendirikan Indonesian Tempe Movement, sebuah gerakan yang ingin mempromosikan Tempe sebagai pangan sehat yang juga gaul dan keren.
“Dulu saya membagi cerita tentang manfaat yang bagus untuk bodybuilding di forum anak muda, mereka tampak tidak percaya karena Tempe itu kesannya ndeso, tidak keren,” katanya.
Padahal, ini adalah makanan tinggi protein yang cocok dikonsumsi anak muda yang sedang rajin olah raga untuk membentuk tubuh mereka, kata mahasiswa S3 jurusan Food Science di Amerika Serikat itu.
Respons itu malah membuat Amadeus dan komunitasnya semakin semangat mengadakan Tempe Workshop di berbagai kota dan kampanye di media sosial.
Di Bogor, Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Kopti) merintis rumah produksi percontohan yang diklaim lebih higienis dengan nama Rumah Tempe Indonesia.
Di sini, standard pembuatan dibuat dengan mengutamakan kualitas dan kebersihan. Alat-alatnya pun didesain sendiri untuk menggantikan drum oli bekas atau tong kayu yang biasa digunakan dalam produksi tradisional.
Tapi harganya agak mahal sekitar Rp 8.000 hingga Rp 20.000, menyasar khusus kalangan menengah atas.
Ketua produksi RTI, Riyanto, mengatakan mereka ingin mengubah citra makanan kumuh. “Dulu Tempe hanya dijual di pasar tradisional, tapi sekarang sudah masuk super market, hotel, dan katering besar,” katanya.
Keuntungannya? “Bagus, bisa hingga 100 persen,” klaim Riyanto.
Mencari pengakuan dunia
Selain meningkatkan kualitas, Forum ini juga mulai mengusulkan untuk menjadikan Tempe sebagai warisan budaya tak benda di UNESCO. Berbeda dengan Jepang, Korea, dan Meksiko misalnya, Indonesia belum ada budaya pangan yang telah diakui dari organisasi dunia itu.
Makanan ini dinilai cocok untuk diajukan karena punya bukti sejarah yang kuat.
“Termuat dalam Serta Centhini jilid tiga, jilid 12. Ada kata-kata Tempe di situ. Serat Centhini itu diterbitkan pada tahun 1800-an tapi isinya menggambarkan kehidupan di abad 16. Jadi kita percaya makanan ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 1600-an,” kata ketua Forum Made Astawan.
“Ini penting sebagai pengakuan, jangan sampai tempe sudah dikenal dimana-mana, kemudian enggak jelas asal usulnya dari mana.”
Made berharap pengakuan itu akan membuat orang semakin bangga mengonsumsi Tempe. “Sama seperti batik, setelah diakui oleh UNESCO, kemudian orang-orang bangga memakai batik. Anak-anak remaja pakai batik, ke mana-mana pakai batik. Dulu kan batik identik hanya untuk kondangan,” sambungnya.
Tapi, satu pemikiran lalu muncul: sesusah itukah mengubah pandangan orang Indonesia terhadap budayanya? Sampai harus menempuh jalan panjang ke UNESCO?
Yang jelas, pengajuan Tempe sebagai warisan budaya Indonesia masih cukup panjang karena hingga kini masih dalam tahap penyusunan kelengkapan dokumen. Selagi menunggu, ada yang mau sushi Tempe?
Reporter: BBC/Ananda Nuraini