Saat Ini, Tak Ada Negara di Dunia yang Mengadopsi Sistem Khilafah

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebagai negara mayoritas Muslim, sebagian masyarakat mungkin sudah tidak asing mendengar istilah Khilafah. Khilafah merupakan sistem kepemimpinan dalam Islam.

Secara umum, sebuah sistem kepemimpinan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan.

Sementara kepemimpinan Khilafah dipimpin oleh Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. Khalifah merupakan orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariat Islam.

Saat ini, tidak ada satu pun negara di dunia yang secara resmi mengakui diri mereka sebagai negara Khilafah. Sistem Khilafah juga tidak disebutkan di dalam Alquran dan hadis.

Namun, banyak negara di dunia, baik negara mayoritas Muslim maupun minoritas, menerapkan sistem pemerintahan dengan pemisahan kekuasaan negara menjadi beberapa lembaga. Konsep ini dikenal dengan Trias Politika, di mana pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kekuasaan yang terlalu banyak. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem ini.

Prinsip Trias Politika mengacu pada check and balances, yang mana setiap lembaga kekuasaan memiliki tingkat kekuatan yang sama, yaitu seimbang, sehingga dapat menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Sementara Khilafah berpegang pada sebuah prinsip, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia yang berkeadilan. Prinsip ini mengajarkan bahwa Khilafah harus berkeadilan, namun sistemnya tidak diajarkan sehingga penerapannya bisa berbeda-beda.

Sering kali dianggap mirip, Khilafah berbeda dengan sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi, aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama tertentu. Dari sini, muncul kesan adanya kemiripan dengan sistem Khilafah.

Padahal, sistem kekuasaan Khilafah jauh berbeda dengan sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi, kekuasaan dianggap sebagai takdir atau penunjukan Tuhan. Hal ini membuat pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, dan terbebas dari salah maupun dosa.

Sementara dalam Khilafah, Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Selain itu, Khalifah juga bisa dihukum jika melanggar aturan Islam.

Khalifah juga dibantu oleh para pembantu Khalifah di berbagai bidang, seperti pemerintahan, administrasi, keamanan, perindustrian, peradilan, kesehatan, keuangan, penerangan, dan majelis umat.

Sistem Khilafah diterapkan pertama kali pada zaman awal-awal berkembangnya agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632, terjadi kekosongan kepemimpinan umat Islam setelahnya.

Posisi Khalifah kemudian diduduki oleh sahabat-sahabat Nabi. Masa Khilafah atau Kekhalifahan pertama dimulai oleh Abu bakar (632–634), Umar bin Khattab (634–644), Utsman bin ‘Affan (644–656), dan Ali bin Abi Thalib (656–661). Masa inilah yang disebut juga masa Kekhalifahan Rashidun.

Pada masa Kekhalifahan kedua, yakni Kekhalifahan Umayyah yang diperintah oleh Bani Umayya, klan Mekah yang diturunkan dari Umayyah bin Abd Shams. Khilafah melanjutkan penaklukan Arab, menggabungkan Kaukasus, Transoxiana, Sindh, Maghreb dan Semenanjung Iberia (Al-Andalus) ke dalam dunia Muslim.

Saat itu, Kekhalifahan menerima banyak orang Nasrani di dalam wilayahnya. Setelah Revolusi Abbasiyah dari 746–750, yang mana muncul akibat dari pencopotan hak pilih Muslim non-Arab, Kekhalifahan Abbasiyah didirikan pada 750.

Pada masa Kekhalifahan ketiga, yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang diperintah oleh Abbasiyah, sebuah dinasti asal Mekkah yang diturunkan dari Hasyim, kakek buyut Nabi Muhammad SAW. Pada masa ini, Khalifah al-Mansur mendirikan ibu kota kedua Baghdad pada tahun 762 yang menjadi pusat ilmiah, budaya dan seni utama, seperti halnya wilayah secara keseluruhan selama periode yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam.

Dari abad ke-10, Kekhalifahan Abbasiyah menjadi terbatas di daerah sekitar Baghdad. Dari 945 hingga 1157, pemerintahan Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Buyid dan kemudian Seljuq. Pada 1250, pasukan non-Arab yang diciptakan oleh Abbasiyah yang disebut Mamluk berkuasa di Mesir. Delapan tahun kemudian, Kekaisaran Mongol menguasai Baghdad, mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah. Pada 1261, Mamluk di Mesir mendirikan kembali Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo.

Meskipun kurang dalam kekuatan politik, Kekhalifahan Abbasiyah terus mengklaim otoritas dalam urusan agama sampai penaklukan Ottoman atas Mamluk Mesir pada 1517.

Pada masa Kekhalifahan keempat, yakni Kekhalifahan Utsmaniyah yang didirikan setelah penaklukan mereka atas Mamluk Mesir pada tahun 1517. Penaklukan tersebut memberikan kontrol kepada Ottoman atas kota-kota suci Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya dikendalikan oleh Mamluk.

Utsmani secara bertahap mulai dipandang sebagai pemimpin satu-satunya dan perwakilan dari kaum Muslim. Setelah kalah dalam Perang Dunia I, pemerintahan mereka dipartisi oleh Inggris dan Republik Ketiga Prancis. Pada Maret 1924, Presiden Republik Turki pertama, Mustafa Kemal Ataturk, sebagai bagian dari reformasinya, secara konstitusional menghapuskan institusi negara Kekhalifahan.

Beberapa negara lain yang ada sepanjang sejarah menyebut diri mereka sebagai Kekhalifahan, antara lain Kekhalifahan Isma’ili Fatimid di Afrika Timur Laut (909–1171), Kekhalifahan Umayyah dari Cordoba di Iberia (929–1031), Kekhalifahan Berber Almohad di Maroko (1121–1269), dan Kekhalifahan Fula Sokoto di Nigeria utara (1804–1903).

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Hoaks OPM, TNI : Rumah Bupati Puncak yang Dibakar Bukan PosMiliter

Oleh: Loa Murib Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan pola lama merekadalam menutupi aksi brutal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dalam upayamembenarkan tindak kekerasan, OPM menyebarkan disinformasi bahwa rumah milik BupatiPuncak dan kantor Distrik Omukia yang mereka bakar di Papua Tengah merupakan pos militeryang digunakan oleh TNI. Tuduhan tersebut segera dibantah secara resmi oleh pihak militer danterbukti tidak memiliki dasar fakta. TNI melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri CandraKurniawan, memberikan klarifikasi bahwa bangunan yang dibakar oleh OPM tidak difungsikansebagai markas militer. Tindakan pembakaran itu murni merupakan aksi kriminal yang disengajauntuk menciptakan ketakutan, mengganggu ketertiban umum, dan mencoreng wibawa negara di mata masyarakat Papua. Bantahan ini menjadi penegasan bahwa OPM kembali menggunakanstrategi disinformasi untuk mengaburkan realitas dan membangun opini publik yang menyesatkan. Disinformasi semacam ini memperjelas bahwa OPM tidak hanya mengandalkan kekerasanbersenjata, tetapi juga propaganda informasi sebagai instrumen perlawanan mereka. Merekamenciptakan narasi seolah-olah aparat keamanan adalah pihak yang menyebabkan keresahan, padahal masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari aksi teror yang dilakukan olehkelompok tersebut. Manipulasi informasi yang dilakukan OPM jelas bertujuan untuk merusakkepercayaan publik terhadap negara dan aparat keamanan. Kejadian yang menimpa Kabupaten Yahukimo menjadi contoh konkret betapa kejamnya aksiOPM. Dalam serangan yang dilakukan belum lama ini, seorang pegawai honorer PemerintahKabupaten Yahukimo tewas akibat kekerasan yang mereka lakukan. Insiden ini menunjukkanbahwa OPM telah melampaui batas kemanusiaan dan menjadikan nyawa warga sipil sebagai alattawar dalam narasi perjuangan mereka yang keliru. Merespons insiden tersebut, aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz bergerak cepatbegitu mendapat laporan dari jajaran Polres Yahukimo. Tim langsung turun ke lokasi kejadian, melakukan evakuasi korban ke RSUD Dekai, mengamankan tempat kejadian perkara, sertamengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Kecepatan ini menunjukkan bahwanegara tidak tinggal diam dalam menjamin perlindungan bagi rakyat, dan siap menghadapisegala bentuk teror yang mengancam stabilitas wilayah. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menegaskan bahwaseluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis akan ditindak secara tegas sesuaihukum. Penegakan hukum ini bukan hanya penting untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga menjadi pernyataan tegas bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dibiarkanmerusak keutuhan dan kedamaian di Papua. Kekejaman OPM, yang ditunjukkan melalui aksi pembakaran, pembunuhan, serta provokasiberulang, memperlihatkan bahwa kelompok ini bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, mereka adalah ancaman nyata yang menghalangi pembangunan dan menimbulkanketakutan di tengah masyarakat. Klaim mereka sebagai pembebas Papua tidak sejalan dengankenyataan bahwa mereka justru memperparah penderitaan rakyat melalui aksi-aksi brutal yang dilakukan. Kasatgas Humas Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, mengimbau masyarakat untuk tidakterprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Ia menegaskan bahwa perlindunganterhadap masyarakat sipil menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, partisipasi aktif dariwarga untuk melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungannya menjadi elemen pentingdalam menjaga keamanan. Negara juga terus menunjukkan komitmennya untuk hadir tidak hanya melalui pendekatankeamanan, tetapi juga melalui pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Berbagai program pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi telahdigulirkan sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Kehadiran negara di Papua bukanlah dalam bentuk represi, tetapi dalam wujud pelayanan danpemberdayaan. Narasi OPM yang menyebut Papua berada dalam penjajahan adalah bentuk manipulasi sejarah. Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal itu telahditegaskan melalui proses hukum dan politik yang diakui secara nasional maupun internasional. Setiap upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melalui kekerasan bersenjata danpropaganda menyesatkan, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang harus ditindak tegas. Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya perdamaian kini semakin menguat. Kolaborasiantara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil dalam menjaga ketertiban dan menolakaksi kekerasan menjadi sinyal kuat bahwa Papua ingin maju bersama dalam bingkai NKRI. Kekuatan kolektif masyarakat ini menjadi benteng terdepan dalam menangkal pengaruh burukdari kelompok separatis. Mengecam tindakan keji OPM dan membongkar propaganda mereka bukan semata-matatanggung jawab aparat keamanan. Ini adalah kewajiban moral seluruh rakyat Indonesia dalammenjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan masa depan Papua yang aman dan sejahtera. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat disinformasi dan kekerasan yang dibungkusdengan dalih perjuangan. Penegakan hukum, pendekatan informasi yang jernih, serta pembangunan yang inklusif harusterus diperkuat untuk mengikis pengaruh kelompok separatis. Dengan semangat kebersamaandan kehadiran negara yang nyata,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini