Diplomasi Progresif: Indonesia Tegaskan Posisi di BRICS Brasil

Baca Juga

Oleh: Landres Octav Pandega *)

Keputusan Indonesia menjadi anggota penuh BRICS pada awal 2025 menandai era barudalam diplomasi luar negeri dan strategi pembangunan nasional. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada 6 Juli 2025, bukan semataajang seremonial, melainkan momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat suaraGlobal South. Presiden Prabowo Subianto memimpin delegasi tingkat tinggi untukmengartikulasikan kebijakan progresif di depan para pemimpin negara anggota BRICS.

BRICS, blok kerja sama yang sejak 2009 beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, telah berkembang menjadi 11 anggota dengan penambahan Mesir, Etiopia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Kehadiran Indonesia memperluas potensipasar, varietas sumber daya, dan diversifikasi mitra strategis di luar jalur tradisional Barat. Dalam sesi pleno pertama bertajuk “Perdamaian dan Keamanan serta Reformasi Tata Kelola Global”, Indonesia mengambil kesempatan emas untuk menyerukan pembaharuanmekanisme PBB yang saat ini kerap terhambat oleh hak veto lima anggota tetap Dewan Keamanan.

Di depan Presiden Prabowo, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengatakan BRICS merupakan perwujudan deklarasi Konferensi Asia-Afrika atau Konferensi Bandung. Menurutnya, BRICS adalah manifestasi dari gerakan non-blok Bandung. BRICS menghidupisemangat Bandung. Dalam kesempatan itu, Lula menyoroti situasi global. Menurutnya, situasi global saat ini tengah menghadapi krisis multilateralisme. Lula lalu menegaskankembali posisi BRICS dalam peta global. Dia menyebut BRICS adalah pewaris gerakan non-blok.


Menurut Kementerian Luar Negeri, dalam debutnya di forum BRICS Presiden Prabowo mengusung gagasan Indonesia sebagai “pembangun jembatan” (bridge builder), namun lebihpenting lagi adalah kemampuannya memfasilitasi dialog multipihak demi menciptakantatanan dunia yang inklusif dan adil. Dalam keterangan resmi, Indonesia menegaskan niatmemanfaatkan BRICS sebagai platform memperjuangkan kerja sama global yang lebih setarabagi negara-negara berkembang, sembari tetap memajukan kepentingan nasional dalambidang ekonomi, keuangan, pendidikan, dan teknologi. 

Kesempatan untuk mendorong reformasi tata kelola global semakin konkret ketika sesi pleno beralih pada “Penguatan Multilateralisme, Hubungan Ekonomi-Keuangan, dan KecerdasanBuatan”. Di sinilah Indonesia dapat menawarkan dua gagasan kunci. Pertama, pengembanganpinjaman infrastruktur melalui New Development Bank (NDB) BRICS—alternatif baginegara berkembang yang sulit mengakses dana dari lembaga keuangan Barat tanpa syaratpolitik berat. Kedua, kolaborasi riset AI untuk mendukung digitalisasi sektor publik, pendidikan jarak jauh, dan revolusi industri 4.0. Jika berhasil, kedua inisiatif ini tidak hanyameningkatkan kesejahteraan domestik, tetapi juga memperkuat posisi tawar Indonesia di forum multilateral.

Lebih jauh, bergabungnya Indonesia dengan BRICS memungkinkan diversifikasi mitradagang yang sangat berguna dalam era ketidakpastian geopolitik. Ketergantungan berlebihpada Amerika Serikat dan Uni Eropa berpotensi membuat ekonomi rentan terhadap sanksiatau perlambatan ekonomi global. Dengan memperdalam perdagangan pertanian dan komoditas dengan Brasil, teknologi informasi dengan India, serta energi dan industripertambangan dengan Rusia dan Afrika Selatan, Indonesia memperluas pangsa pasar dan mereduksi risiko eksternal. Di saat yang sama, sentralitas geopolitik Indonesia—sebagainegara terpadat keempat dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara—memberi nilaitambah bagi anggota BRICS yang ingin menembus pasar ASEAN.

Dari sudut filsafat politik, peran aktif di BRICS mencerminkan konsep negara berdaulat yang tidak hanya mengikuti arus dominasi besar, melainkan turut menggerakkan perubahantatanan dunia. Diskursus Dewan Keamanan PBB yang terhambat veto permanen melukaiprinsip demokratik internasional; oleh karenanya, suara Indonesia sebagai salah satu negara G20 dan anggota penuh BRICS diharapkan mendorong mekanisme pengambilan keputusanyang lebih inklusif. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Khoirul Umam, Direktur ParamadinaGraduate School of Diplomacy, KTT ini adalah momentum strategis untuk menegaskanmultilateralisme egaliter yang tidak bersandar pada unilateralisme satu-dua kekuatan besar.

Selain agenda tata kelola global, Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini untukmemperluas kerjasama keamanan maritim. Keberhasilan memerangi penyelundupan narkobadan kejahatan lintas negara di wilayah perairan nasional memerlukan koordinasi dengan negara-negara sahabat di jalur Samudra Hindia hingga Selat Malaka. BRICS dapatmenjembatani pembentukan pusat intelijen maritim bersama, latihan gabungan untukkeamanan laut, serta pembaruan standar penegakan hukum di perbatasan laut. Ini akanmemperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang bertanggung jawab menjagakeamanan jalur pelayaran internasional.

Diplomasi progresif adalah tugas berkelanjutan, bukan pencapaian sekali jadi. Indonesia memastikan kontribusi nyata di lembaga BRICS—baik dalam pendanaan NDB, pengirimantenaga ahli untuk riset AI, maupun inisiatif pelatihan teknis bagi anggota lain. Pelibatansektor swasta dan akademisi Indonesia dalam proyek multinasional BRICS memperkayabasis pengetahuan dan memperkuat kemampuan inovatif. Implementasi kebijakan dalamnegeri yang konsisten menumbuhkan kepercayaan mitra BRICS bahwa Indonesia seriusmemperjuangkan prinsip inklusivitas.

*) Pengamat Hubungan Internasional

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

LItbang Kompas : Masyarakat Yakin Pemerintah Mampu Tangani Bencana Sumatera Tanpa Bantuan Asing

MataIndonesia. Jakarta - Mayoritas masyarakat mengaku yakin bahwa pemerintah mampu menangani bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat...
- Advertisement -

Baca berita yang ini