MATA INDONESIA, JAKARTA – Mitos Naga hampir ada di sejumlah negara. Ada anggapan bahwa binatang ular raksasa ini di zaman prasejarah hidup dan berkembang dengan binatang purba lainnya.
Kisah dan mitos tentang binatang ini diceritakan turun temurun sejak ribuan tahun lalu.
Baik dalam karya sastra, dongeng maupun kepercayaan religius. Kadang tak hanya naga, tapi ular raksasa yang secara fisik mirip dengan gambaran naga. Binatang ini menjadi simbol teror, kejahatan. Maka yang bisa menumpasnya adalah para ksatria pemberani pilih tanding.
- Dalam agama Hindu Kuno, ada kisah Indra yang membunuh Vritra, makhluk yang sering disebut mirip seperti ular raksasa atau naga.
- Dalam mitologi Yunani, Zeus membunuh ular raksasa bernama Typhon.
- Thor, Dewa Petir dalam mitologi Nordik, membunuh Jormungand yang mendiami lautan.
- Kisah yang sama juga terjadi pada makhluk seperti Leviathan maupun Tiamat.
Masyarakat Yunani dan Sumeria kuno menggambarkan bentuk ular terbang yang besar. Kata dragon berasal dari Bahasa Yunani “draconta” yang berarti “untuk mengawasi. Penggambaran mahluk ini sebagai binatang yang menjaga sesuatu yang dianggap sangat berharga, seperti tumpukan harta karun, benda pusaka atau bahkan orang penting seperti putri raja.
Menurut Scott G. Bruce dalam pengantarnya untuk The Penguin Book of Dragons, di dunia kuno mahluk penjaga ini berbentuk ular besar. Siap untuk menghancurkan dan membunuh dengan napas berbisa mereka. Untuk sebagian besar sejarah, naga menjadi hewan mitos lainnya, terkadang berguna dan protektif, terkadang berbahaya.
Kepercayaan pada naga tidak hanya pada legenda tetapi juga karena penemuan-penemuan fosil. Selama ribuan tahun tidak ada yang tahu, binatang apa yang tulang-tulangnya besar dan raksasa. Saat itu belum ada definisi dinosaurus. Dan naga tampaknya merupakan pilihan yang logis bagi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang mahluk seperti dinosaurus.
Di kawasan Asia Timur, naga tak hanya sekadar monster atau makhluk yang menakutkan. Di Cina, misalnya. Naga adalah penjelmaan dewa. Ia juga tak berbentuk tunggal. Bisa berupa ikan, bisa pula berbentuk kura-kura. Namun yang paling sering muncul memang bentuk ular besar dengan empat kaki.
Dalam The Illustrated Book of Dragons and Dragon Lore, naga di kultur Tiongkok adalah simbol kekuatan, kekuasaan, dan keberuntungan. Penggambaran naga sebagai makhluk yang bajik.
Kehadiran naga di Tiongkok, sudah ada sejak Dinasti Han (206 SM). Liu Bang, pendiri Dinasti Han, menganggap ia sebagai anak naga. Hal itu membuat simbol naga jadi identik kekuasaan dan kekuatan.
Wang Fu, filsuf era Dinasti Han, pernah mendeskripsikan sembilan ciri fisik naga:
- Tanduk dari rusa jantan
- Kepala unta
- Mata dari iblis
- Leher dan badan dari ular
- Perut dari kerang
- Sisik serupa gurami
- Cakar dari elang
- Tapak kaki dari harimau
- Kuping dari sapi.
Di dahi naga, ujar Wang Fu, ada tonjolan namanya chimu. Tanpa itu, naga tidak bisa terbang menuju langit.
Di kebudayaan Cina, gambaran naga tak jauh dari apa yang pernah digambarkan oleh Wang Fu.
Di Indonesia, tepatnya Jawa, juga punya pertautan cukup lama dengan naga, atau hewan berbentuk ular. Diperkirakan sudah dipakai sebagai simbol di Jawa sejak era Majapahit (1293-1500).
Hingga sekarang ada gambaran Naga Jawa di candi atau bahkan gamelan. Ada sedikit perbedaan antara naga di Jawa dengan di Cina. Di Jawa, naga (Bahasa sansakerta) – dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai ular besar—tidak mempunyai kaki. Ia punya mahkota. Mahluk ini biasanya ada di tangga atau gerbang, seolah menjadi penjaga.
Reporter: Azzura Tunisya