MINEWS, JAKARTA – Isi berkas permohonan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai paling buruk dalam sejarah Indonesia. Apalagi gugatan itu menyebut Joko Widodo mempraktikan rezim Neo-Orde Baru.
Tudingan Prabowo tersebut mengutip pendapat akademisi luar negeri. “Dapat dikatakan ini permohonan terburuk dalam sejarah perselisihan hasil Pemilu Pilpres yang pernah dimajukan ke MK. Sebab Paslon 02 tidak memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon,” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono di Jakarta, Jumat 31 Mei 2019.
Cara Prabowo yang mengutip pendapat akademisi luar negeri tersebut, kata Bayu, tidak mempunyai nilai pembuktian apapun di dalam pengadilan karena merupakan opini pribadi.
Selain itu, lanjut dia, pendapat akademisi tersebut adalah terkait dengan sistem politik Indonesia secara keseluruhan. “Pendapat itu menunjukkan adanya korupsi bukan hanya di lembaga eksekutif di bawah Presiden, tapi juga di lembaga legislatif yang melibatkan semua parpol dimana kader Parpol pengusung Paslon 02 pun termasuk di dalamnya,” kata dia.
Sebelumnya, Prabowo mengutip guru besar hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Prof Tim Lindsey. Kutipan yang diambil tim Prabowo soal Jokowi Neo-Orde Baru adalah:
He cannot affoord to have too many of these his enemies, and that means three is not much Jokowi can do about Indonesia’s a poorly-regulated political system, which favours the wealthy and drives candidates to illegally recoup the high costs of getting elected once they are in office.
This system has entrenched corruption among the political elite and is a key reason for their predatory approach to public procurement.
Kata Bayu, kubu Prabowo seharusnya berusaha memenuhi syarat minimal yang harus ada dalam permohonan PHPU Pilpres ke MK. Namun pemohon dan kuasa hukumnya justru sibuk beropini di dalam permohonan yang dibuat maupun di media.
Salah satu opini tersebut adalah membuat tuduhan-tuduhan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan keputusan hasil penghitungan suara oleh KPU sebagai termohon. “Sebaiknya pemohon dan kuasa hukum fokus untuk memperkuat dalil sekaligus menambah alat bukti yang bisa membuktikan segala dalil yang diajukan ke MK. Perlu diingat MK adalah pengadilan yang membuat putusan berdasarkan alat bukti serta fakta persidangan dan bukan berdasarkan opini-opini belaka,” ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember ini.