Debat Itu Menggairahkan

Baca Juga

MINEWS, – Debat, bukanlah tradisi baru. Di Yunani, orang biasa mempersoalkan dan memperdebatkan apa saja. Termasuk yang inderawi. Di Indonesia juga sama. Ketika masih berwujud kerajaan-kerajaan hindu, kisah perdebatan yang menjadi tradisi di India, sudah dimaklumi dan dipraktekkan. Pada saat senggang, raja menonton “perdebatan” sebagai bagian dari hiburan intelektual yang bersahaja.

Dalam tradisi klasik, debat memang menjadi semacam jalan pencaharian. Terutama ketika berhadapan dengan pilihan atau perbandingan. Dua hal yang dipandang sebagai obyek di posisi kutub berbeda. Tentu debat tak hanya bertujuan “mencoblos” pilihan tapi lebih dari itu juga bertujuan untuk menguji nalar sekaligus melogikakan perbandingan sebelum menarik pilihan.

Di sini, perdebatan menjadi semacam uji pikir untuk menghampiri kebenaran, bukan pembenaran. Debat bukan ditujukan untuk sekadar memaparkan kebenaran pikiran sendiri, tapi juga memperlihatkan kejelian menangkap celah kritis dari pikiran lawan. Tengoklah bagaimana di kisaran 1930-an, Soekarno dan A. Hassan, dua kampiun yang pernah berbulan berpolemik, bahkan bertahun berdebat tentang Islam dan nasionalisme untuk Indonesia ke depan.

Dari keseriusan berdebat itu, Soerkarno tak pernah sepakat utuh pada pikiran A.Hassan. Pun dengan A.Hassan. Yang menakjubkan, justru dari perdebatan sengit itulah Soekarno merasa belajar Islam. Perdebatan sengitnya tak melahirkan permusuhan, tapi justru kehangatan persahabatan intelektual. Suatu ketika Soekarno secara terbuka menyatakan kekagumannya terhadap buku-buku karya A.Hasan, sekaligus memposisikan A.Hasan sebagai salah satu gurunya.

Dari hikayat lain, alkisah mencatat peristiwa perdebatan filosofis yang “spektakuler” di India, yang sampai memakan waktu tujuh hari tujuh malam, antara Visvarupa dengan Sankaracharya, dua “alim” pencari kebenaran. Yang menang jadi suhu yang kalah tetap guru. Kisah ini menjadi pelajaran sejumlah intelektual kerajaan hindu di Indonesia waktu itu, karena dilakukan semata demi kebenaran. Wallahualam.

Tapi terlepas dari rentetan historis di atas, kultur perdebatan mestinya sudah berakar berkelintan – internalized — dalam kultur intelektual kita. Secara hakekat, memang tidak semua debat menghasilkan bobot. Debat kusir, misalnya. Tak menghasilkan makna apa-apa, kecuali ngalor ngidul. Tapi debat kan tak melulu kusir. Orang bijak bestari seperti berbagai kisah di atas, bisa berdebat dengan tiga orientasi sekaligus, yakni orientasi untuk mengasah, mengisi dan sekaligus mengasuh pemikiran.

Tiga hal inilah yang dalam sejarah Indonesia modern, pernah dijadikan tradisi para pejuang Indonesia. Sebagaimana tradisi intelektual yang dibangun HOS Tokroaminoto, ketika “membimbing” Bung Karno dan kawan-kawan.

Masih berkait dengan tradisi debat, mungkin tak banyak juga yang ingat kalau Al Jam’iyatul Washliyah, dikenal dengan Al Washliyah, berdiri 30 Nopember 1930, di Medan, Sumatera Utara, kemudian berkembang secara nasional, cikal bakalnya berasal dari perhimpunan pelajar yang bernama Debating Club. Tempat sejumlah orang terpelajar di sana, kumpul berjam-jam untuk berdiskusi menguji pikiran dan berdebat.

Yang menakjubkan kelompok-kelompok debat ini, disadari telah membuka cakrawala, merangsang gairah baca, simak dan analisis, dalam rangka menerobos masa depan yang lebih baik. Melalui kegirangan dalam adu tangkas berpikir, kecekatan melahirkan ide –ide spontan akan niscaya. Perdebatan yang hakiki tak pernah membuat “kalah jadi abu menang jadi arang.”

Tentu debat bukan satu-satunya cara mengasah dan mengisi otak. Membaca, merenung dan serumpunnya juga bisa mengemban fungsi itu. Namun satu hal yang kemudian menjadi ciri dan karakter lekat dari debat, adalah soal memainkan kecekatan dan kecepatan berpikir. Dua ikhwal ini hanya dimiliki oleh sebuah perdebatan. Dan inilah yang kemudian menjadi tontonan intelektual yang indah dan memukau. Sebagaimana orang-orang dulu girang menyaksikan kecekatcerdasan perdebatan di Bandung debating club, atau Jakarta debating club.

Debat adalah ketangkasan altruistic. Artinya harus mengandalkan strategi ketangkasan berpikir, ketajaman nalar dan kejujuran. Bukan ketangkasan bersiasat, apalagi berharat –termasuk mengarang alasan.

Maka sejarah bisa memastikan generasi hari ini untuk tak ragukan ketangkasan Soekarno, Isa Anshary, Bung Tomo, HOS Tjokroaminoto, Hajjah Rangkayo Rasuna Said (HR Rasuna Said) dalam berdebat. Jangankan berdebat soal-soal besar, soal puisi saja, Bung Karno pernah berminggu-minggu, berdebat lewat tulisan dengan Haji Agus Salim. Dan perdebatannya, syahdan, dinanti orang banyak.

Berangkat dari sejarah, juga bisa dibilang kalau ciri dan karakter pejuang Indonesia tempo dulu berbasiskan pada ide dan gagasan. Bukan pragmatisme kekuasaan. Itu mungkin yang membuat perdebatan-perdebatan mereka visioner. Asyik, menghibur menggairahkan intelektual kita. Dan saya yakin, kegairahan perdebatan seperti ini yang rasanya diinginkan sejarah Indonesia. Terutama buat Indonesia masa depan. Wallahualam.

By Hussen Gani Maricar (Jurnalis)

Berita Terbaru

Transformasi Ekonomi Indonesia: Swasembada Pangan dan Energi Jadi Prioritas Strategis

Di tengah kompleksitas situasi geopolitik dunia yang terus berkembang, Indonesia memposisikan program kemandirian pangan dan energi sebagai prioritas strategisnasional. Pemerintah menunjukkan keseriusan dalam memperkuat sektor pertanian dan energi terbarukan, sebagai bagian dari transformasi ekonomi menuju kemandirian dan penciptaan lapangan kerja berkelanjutan. Transformasi ekonomi Indonesia melalui program swasembada pangan dan energimerupakan wujud nyata dari cita-cita kemandirian bangsa yang telah lama didambakansejak era kemerdekaan. Program strategis ini tidak hanya bertujuan mengurangiketergantungan impor, tetapi juga menghidupkan kembali semangat berdikari yang menjadi fondasi kedaulatan nasional Indonesia.  Dalam konteks kemandirian bangsa, swasembada pangan dan energi menjadi pilar utama yang menentukan kemampuan Indonesia untuk berdiri tegak di tengah dinamikaglobal yang penuh ketidakpastian.  Swasembada bukan tujuan jangka pendek, tetapi fondasi kemandirian nasional. Pemerintah terus membangun visi jangka panjang yang mencakup ketahanan logistik, kedaulatan ekonomi, dan stabilitas nasional. Perspektif ini menegaskan bahwa program swasembada harus dipahami sebagai investasi strategis untuk generasi mendatang. Peter Abdullah, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, memberikan perspektif mendalam mengenai pentingnya transformasi struktural ini bagimasa depan bangsa Indonesia. Menurut Peter Abdullah, upaya pemerintah untuk mewujudkan kemandirian bangsamelalui swasembada pangan dan energi merupakan langkah strategis dalammemperkuat ketahanan nasional, baik dalam situasi damai maupun krisis global. Pandangan ini menegaskan bahwa program swasembada bukan sekadar target produksi, melainkan investasi jangka panjang untuk stabilitas negara.  Ketahanan pangan dan energi bukan semata isu ekonomi, melainkan bagian daripertahanan negara. Dalam konteks ini, pemerintah mendorong penguatan sektordomestik agar Indonesia tidak bergantung pada impor dalam kondisi darurat. Strategi ini menjadi semakin relevan mengingat berbagai gejolak geopolitik yang kerapmempengaruhi rantai pasokan global. Peter Abdullah melihat upaya ini sebagaimomentum penting untuk mengubah paradigma pembangunan yang selama ini terlalubergantung pada sektor ekstraktif dan impor. Fokus pada transformasi ekonomi ini tidak hanya bertujuan mencapai swasembada, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih resilient dan inklusif. Denganmemperkuat fondasi domestik, Indonesia diharapkan dapat mengurangi kerentananterhadap fluktuasi harga komoditas global dan shock ekonomi eksternal. Peningkatan produktivitas menjadi fokus utama dalam roadmap swasembada nasional. Pemerintah mulai membenahi sistem insentif agar petani memperoleh keuntungan yang layak, sekaligus menarik generasi muda kembali ke sektor pertanian. Langkah inidipandang krusial mengingat tantangan regenerasi yang dihadapi sektor pertanianIndonesia. Pemerintah mengedepankan keseimbangan antara harga yang terjangkau bagikonsumen dan pendapatan yang memadai bagi petani. Strategi ini diharapkan dapatmeningkatkan daya beli masyarakat perdesaan dan mendorong pertumbuhan ekonominasional yang lebih merata. Dukungan terhadap komoditas unggulan seperti beras terus diperkuat dalam program swasembada nasional. Pemerintah melihat potensi besar untuk mencapai swasembada, mengingat kapasitas panen Indonesia yang lebih tinggi dibanding negara-negara maju. Optimisme ini didukung oleh kondisi geografis dan iklim Indonesia yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini