Bahasa, Kendala Utama Pembelot Korea Utara Tinggal di Korsel

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Para pembelot Korea Utara yang melarikan diri ke Korea Selatan seringkali mendapat diskriminasi karena perbedaan bahasa Korea yang digunakan untuk komunikasi.

Orang-orang Korea Utara yang melarikan diri ke Korea Selatan biasanya melalui jalur perbatasan Korea Utara – Cina. Di perbatasan tersebut ada kebijakan untuk menyerahkan para pengungsi yang tak memiliki masa depan yang pasti di Korea Utara.

Namun, saat tiba di Korea Selatan, mereka kebingungan karena selain terkendala akan perbedaan bahasa, tapi juga dipusingkan dengan persoalan pajak, sewa rumah, dan nasib menjadi tunawisma, serta hal lainnya yang di Utara serba dikuasai oleh pemerintah.

Perbedaan bahasa Korea yang ada pada Utara dan Selatan terjadi sejak pemisahan Republik Korea pasca-Perang Dunia II di Semenanjung Korea.

Negara Korea Utara yang sangat tertutup membuat bahasa Korea mereka hanya mengalami sedikit perubahan. Sementara Korea Selatan memiliki berbagai versi bahasa yang berkembang pesat karena terbuka dengan budaya dan teknologi luar.

Demi mengatasi perbedaan bahasa, para pembelot akhirnya beralih ke aplikasi terjemahan Utara-Selatan. Aplikasi tersebut membantu menjembatani kesenjangan antara dua bahasa Korea yang berbeda, sementara kamus bahasa Korea yang luas dan terpadu sedang dikembangkan.

Karena budaya dan politiknya yang terisolir, sejumlah kata dalam bahasa Korea Utara pun sebagian besar diciptakan oleh orang-orang mereka sendiri ketika diperlukan. Sementara itu, Korea Selatan beralih ke budaya Barat untuk memperoleh banyak kata-kata baru.

Misalnya, ketika Korea Selatan memakai kata-kata seperti donat dan sampo dari budaya Barat, dialek Utara menggunakan deskripsi literal “garakji bbang” (“roti cincin”), dan “meorimulbinu” (“sabun air rambut”).

Bahasa Korea Selatan yang diilhami oleh budaya barat, terutama dari Amerika Serikat, disebut “Konglish” (Korean-English), karena mengadopsi kata-kata bahasa Inggris untuk banyak objek dan situasi sehari-hari, seperti “juseu” (jus) menjadi “two-piece” (pakaian dua potong).

Sebaliknya, bahasa asing yang digunakan dalam Korea Utara dipinjam dari kata-kata sekutunya, Rusia. Contohnya “Tteuraktoreu” (traktor).

Kemudian kata untuk “friend atau teman” (dongmu) dalam bahasa Korea Utara menjadi “comrade atau kawan” yang diserap dari Uni Soviet. Akan tetapi, kata tersebut dihapus dalam kosa kata Korea Selatan.

Perbedaan identitas mereka juga menyebabkan perbedaan dalam hal politik. Korea Selatan menyebut dirinya sebagai Hanguk, sedangkan Korea Utara menyebut dirinya Choson mengacu pada bekas kekaisaran Joseon.

Hambatan bahasa bahkan berimbas ke bidang olahraga, para atliet perempuan Korea yang tergabung dalam tim hoki es harus menemukan cara baru untuk berkomunikasi satu sama lain di Olimpiade Musim Dingin tahun 2018.

Para pemain Korea Selatan menyebut kiper-kipernya dengan sebutan “gol-kipeo“, sementara pemain dari Korea Utara menganggap mereka sebagai “mun-jigi” (penjaga pintu). Untuk menyiasatinya, tim mereka pun membuat kamus sendiri untuk menerjemahkan istilah-istilah permainan hoki ke versi bahasa Korea yang dapat dipahami semua orang.

Lalu, berbagai upaya lain yang dilakukan oleh para pembelot Korea Utara untuk bertahan hidup di Korea Selatan, yakni dengan mengikuti pelatihan di Hanawon selama tiga bulan.

Hanawon merupakan pusat pelatihan wajib Korea Selatan untuk para pembelot baru. Pelatihan yang diberikan berfokus untuk memberikan pengetahuan dan pedoman bagaimana membangun kehidupan baru di Selatan, termasuk bahasa.

Kementrian Unifikasi Seoul juga scara rutin menerbitkan daftar kata-kata yang lazim digunakan oleh warga Selatan, tapi para pembelot tetap saja kebingungan.

Beberapa kelompok nonpemerintah, seperti Teach the North Korea Refugees (TNKR), mengajarkan bahasa Inggris kepada para pendatang baru, bahasa yang telah masuk ke banyak bagian kehidupan Korea Selatan.

Berbagai aplikasi dan materi pendidikan pun turut diluncurkan. Salah satunya adalah Univoca (kependekan dari “Unification Vocabulary”), sebuah aplikasi yang menerjemahkan istilah-istilah yang setiap hari digunakan di Korea Selatan supaya terdengar lebih akrab bagi orang Korea Utara.

Aplikasi itu memungkinkan para penggunanya mencari kata-kata, membuat daftar kosa kata dan bahkan menerjemahkan kata-kata Korea Selatan ke Korea Utara hanya dengan memindainya menggunakan kamera.

Pada 2005, terbentuklah sebuah proyek besar-besaran antar-Korea untuk menggabungkan semua kosa kata Korea ke dalam Gyeoremal Keunsajeon (“kamus besar bahasa nasional”).

Menurut ahli leksikografi Korea Selatan, Han Yong-woon, yang merupakan bagian dari tim Gyeoremal, kamus itu akan menyusun kata-kata dari kamus yang ada di kedua negara Korea dan juga menambahkan kata-kata dan ekspresi yang lebih baru.

“Kami berencana mengumpulkan sekitar 210.000 kata dan kemudian kami akan mengumpulkan kata-kata serta ungkapan baru yang digunakan, tetapi tidak dalam kamus. Itu akan menjadi sekitar 100.000,” kata Han saat diwawancarai oleh BBC.

Meski diterpa berbagai kendala, seperti penundaan pengerjaan  karena ketegangan antar Korea. Han mengatakan bahwa pengerjaannya telah selesai sekitar 80 persen dari sisi Selatan dan akan memakan waktu lima tahun lagi untuk sisi Utara. Karena Korea Utara perlu memastikan lagi perkembangan kosa katanya sendiri.

Selain itu, masih harus dilihat juga seberapa efektif pendekatan kosa kata ini dalam membantu para pembelot Korea Utara menyesuaikan diri. Akan tetapi, mereka tampaknya akan terus berupaya menjembatani kesenjangan antara dua cabang bahasa yang sama.

Bahasa Korea merupakan salah satu bahasa tertua di dunia. Namun, bentuk terbarunya diperkenalkan pada abad ke-15 saat Raja Dinasti Joseon, Sejong the Great memperkenalkan Hunminjeongeum (“Suara yang Tepat untuk Pengajaran Rakyat”), yaitu fonetik baru yang disederhanakan untuk mengganti sistem Hanja yang berbasis di Cina.

Naskah yang sekarang disebut Hangul di Korea Selatan dan Chosongul di Korea Utara, akhirnya muncul sebagai standar untuk Korea modern.

Pemimpin pertama Korea Utara Kim Il-sung berusaha “menyucikan” bahasa itu untuk menghilangkan pengaruh Cina dan Jepang.

Di bawah pemerintahan yang ketat, bahasa Korea Utara berevolusi lebih jauh untuk mewakili konsep ideologis “juche” (kemandirian) dan bentuk “murni” dari orang-orang Korea.

Sementara itu, orang-orang Korea Selatan menempuh jalannya sendiri yang mengarah ke perbedaan yang kita lihat sekarang. Perbedaan-perbedaan ini perlu diatasi jika aspirasi untuk Korea bersatu pada akhirnya diwujudkan.

Reporter: Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pemimpin Terpilih Pilkada 2024 Diharapkan Menyatukan Aspirasi Semua Pihak

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa pemimpin daerah yang terpilih dalam Pilkada Serentak 2024 harus mampu menyatukan seluruh...
- Advertisement -

Baca berita yang ini