1 Jam Sama dengan 60 Menit Dimulai dari Sumeria

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Di dunia sekarang ini, sistem angka yang paling banyak digunakan adalah desimal (dengan basis 10), sebuah sistem yang mungkin berasal karena memudahkan manusia untuk menghitung menggunakan jari mereka.

Selama ribuan tahun, peradaban kuno memandang ke langit untuk mengukur satuan waktu.

Ada tahun, yaitu waktu yang dibutuhkan Bumi untuk menyelesaikan satu orbit mengelilingi matahari; bulan, kira-kira berapa lama bulan mengorbit planet kita; minggu, yang kira-kira merupakan waktu antara empat fase bulan; dan hari, yang merupakan durasi satu rotasi bumi pada porosnya.

Tapi mengapa 1 jam dibagi menjadi 60 menit?

Penggunaan angka 60 dimulai oleh bangsa Sumeria yang menggunakan sistem angka yang berbeda dengan kita saat ini sejak 2.000 SM.

Jika saat ini kita menulis angka menggunakan basis 10, atau “desimal”, maka peradaban tersebut menggunakan basis 12 (“duodecimal”) dan basis 60 (“sexigesimal”). Tidak diketahui secara pasti mengapa mereka memilih sistem ini.

Di balik angka 12, beberapa teori menyebutkan, karena banyak budaya kuno menggunakan tiga segmen dari setiap jari untuk menghitung sampai angka 12 dengan satu tangan. Selain itu, angka 12 dianggap sebagai angka penting bagi orang Sumeria.

Lalu pada abad ke-24 SM, orang Sumeria ditaklukkan hingga terbangunlah bangsa Babilonia yang mencapai puncak di abad ke-18. Orang Babilonia menemukan derajat dan menentukan lingkaran memiliki 360 derajat.

Katalog bintang Babilonia yang berfungsi sebagai dasar astronomi menggunakan bentuk lingkaran dengan segi enam sama sisi yang mengambil angka warisan Sumeria.  Katalog lingkaran astronomi Babilonia ini kemudian menyebar ke Yunani dan India.

Hipparchus dan astronom Yunani lainnya telah mewarisi Babilonia kemudian menerapkannya pada astronomi untuk membuat klasifikasi waktu yang lebih baik.

Tidak diketahui mengapa 60 ditetapkan sebagai sistem waktu, namun beberapa menyebut karena bilangan tersebut angka terkecil yang bisa dibagi 2,3,4,5,6, serta dapat dibagi oleh angka 10,12,15,20, dan 30.

Selain itu penggunaan 12 subdivisi untuk siang dan malam, dengan 60 untuk jam dan menit, ternyata jauh lebih berguna daripada bilangan 10 atau 100.

Itulah mengapa orang-orang pada akhirnya memutuskan untuk memecah permukaan jam yang berupa lingkaran, menjadi 60 menit lalu memecah setiap menit menjadi 60 detik.

Kemudian, walau jam mekanik pertama juga sudah ada sejak abad ke-14, satuan menit baru ditampilkan pada arloji pada akhir abad ke-16, lo, saat arloji sudah lebih canggih.

Alasannya adalah karena dulu satuan menit dianggap tidak praktis untuk ditampilkan pada arloji.

Jadi lain kali saat kamu mengukur satu menit dengan menghitung sampai 60, ingatlah bahwa ada orang yang hidup ribuan tahun lalu yang juga menghitung sampai 60 untuk menemukannya.

Reporter: Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Hoaks OPM, TNI : Rumah Bupati Puncak yang Dibakar Bukan PosMiliter

Oleh: Loa Murib Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan pola lama merekadalam menutupi aksi brutal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dalam upayamembenarkan tindak kekerasan, OPM menyebarkan disinformasi bahwa rumah milik BupatiPuncak dan kantor Distrik Omukia yang mereka bakar di Papua Tengah merupakan pos militeryang digunakan oleh TNI. Tuduhan tersebut segera dibantah secara resmi oleh pihak militer danterbukti tidak memiliki dasar fakta. TNI melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri CandraKurniawan, memberikan klarifikasi bahwa bangunan yang dibakar oleh OPM tidak difungsikansebagai markas militer. Tindakan pembakaran itu murni merupakan aksi kriminal yang disengajauntuk menciptakan ketakutan, mengganggu ketertiban umum, dan mencoreng wibawa negara di mata masyarakat Papua. Bantahan ini menjadi penegasan bahwa OPM kembali menggunakanstrategi disinformasi untuk mengaburkan realitas dan membangun opini publik yang menyesatkan. Disinformasi semacam ini memperjelas bahwa OPM tidak hanya mengandalkan kekerasanbersenjata, tetapi juga propaganda informasi sebagai instrumen perlawanan mereka. Merekamenciptakan narasi seolah-olah aparat keamanan adalah pihak yang menyebabkan keresahan, padahal masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari aksi teror yang dilakukan olehkelompok tersebut. Manipulasi informasi yang dilakukan OPM jelas bertujuan untuk merusakkepercayaan publik terhadap negara dan aparat keamanan. Kejadian yang menimpa Kabupaten Yahukimo menjadi contoh konkret betapa kejamnya aksiOPM. Dalam serangan yang dilakukan belum lama ini, seorang pegawai honorer PemerintahKabupaten Yahukimo tewas akibat kekerasan yang mereka lakukan. Insiden ini menunjukkanbahwa OPM telah melampaui batas kemanusiaan dan menjadikan nyawa warga sipil sebagai alattawar dalam narasi perjuangan mereka yang keliru. Merespons insiden tersebut, aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz bergerak cepatbegitu mendapat laporan dari jajaran Polres Yahukimo. Tim langsung turun ke lokasi kejadian, melakukan evakuasi korban ke RSUD Dekai, mengamankan tempat kejadian perkara, sertamengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Kecepatan ini menunjukkan bahwanegara tidak tinggal diam dalam menjamin perlindungan bagi rakyat, dan siap menghadapisegala bentuk teror yang mengancam stabilitas wilayah. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menegaskan bahwaseluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis akan ditindak secara tegas sesuaihukum. Penegakan hukum ini bukan hanya penting untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga menjadi pernyataan tegas bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dibiarkanmerusak keutuhan dan kedamaian di Papua. Kekejaman OPM, yang ditunjukkan melalui aksi pembakaran, pembunuhan, serta provokasiberulang, memperlihatkan bahwa kelompok ini bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, mereka adalah ancaman nyata yang menghalangi pembangunan dan menimbulkanketakutan di tengah masyarakat. Klaim mereka sebagai pembebas Papua tidak sejalan dengankenyataan bahwa mereka justru memperparah penderitaan rakyat melalui aksi-aksi brutal yang dilakukan. Kasatgas Humas Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, mengimbau masyarakat untuk tidakterprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Ia menegaskan bahwa perlindunganterhadap masyarakat sipil menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, partisipasi aktif dariwarga untuk melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungannya menjadi elemen pentingdalam menjaga keamanan. Negara juga terus menunjukkan komitmennya untuk hadir tidak hanya melalui pendekatankeamanan, tetapi juga melalui pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Berbagai program pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi telahdigulirkan sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Kehadiran negara di Papua bukanlah dalam bentuk represi, tetapi dalam wujud pelayanan danpemberdayaan. Narasi OPM yang menyebut Papua berada dalam penjajahan adalah bentuk manipulasi sejarah. Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal itu telahditegaskan melalui proses hukum dan politik yang diakui secara nasional maupun internasional. Setiap upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melalui kekerasan bersenjata danpropaganda menyesatkan, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang harus ditindak tegas. Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya perdamaian kini semakin menguat. Kolaborasiantara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil dalam menjaga ketertiban dan menolakaksi kekerasan menjadi sinyal kuat bahwa Papua ingin maju bersama dalam bingkai NKRI. Kekuatan kolektif masyarakat ini menjadi benteng terdepan dalam menangkal pengaruh burukdari kelompok separatis. Mengecam tindakan keji OPM dan membongkar propaganda mereka bukan semata-matatanggung jawab aparat keamanan. Ini adalah kewajiban moral seluruh rakyat Indonesia dalammenjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan masa depan Papua yang aman dan sejahtera. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat disinformasi dan kekerasan yang dibungkusdengan dalih perjuangan. Penegakan hukum, pendekatan informasi yang jernih, serta pembangunan yang inklusif harusterus diperkuat untuk mengikis pengaruh kelompok separatis. Dengan semangat kebersamaandan kehadiran negara yang nyata,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini