Puisi: Kembalikan Sa Papua

Baca Juga

MATA INDONESIA, Apa hanya aku yang tersadar hari ini berbeda?
Apa hanya aku yang terbangun untuk membenahi jiwa?
Dan apakah hanya aku yang terkumpul nyawa terisak tangis masyarakat Papua?
Sebenarnya hati ini pun menangis melihat saudara yang terhianati saudara.
Namun apa daya, sampul tak mestinya sesama dengan isian.
Kejam sekali jika aku tak turut ber-prihatin kepada saudara sebangsa ku.

Tunggu…
Aku menyatakan diriku kejam?
Lalu apa namanya untuk mereka yang menghakimi masyarakat Papua?
Mereka yang mencaci saudaranya.
Mereka yang membenci hanya karna berbeda.
Bodoh? Atau Keji?
Sedih rasanya melihat ini semua.
Hati mereka sudah terlanjur beku dengan kesempurnaan.
Apa mereka pikir mereka sempurna?
Mereka hanya haus kebagusan, tanpa sadar dan tanpa bercermin bahwa dirinya juga tak sempurna.

Anak-anak Papua yang tak tau menahu pun terpaksa terikut hanya kerena orang-orang bodoh yang tak tau perbedaan.
Ah mana mungkin tidak tau, sepertinya mereka tau tapi pura-pura tidak tau. Atau memang tak ingin tau ya?

Anak-anak yang seharusnya masih bermain bebas, kini hanya sebuah harapan.
Dan semuanya berharap sama. Mendapatkan sikap adil.
Tapi semuanya direnggut oleh mereka yang mungkin tak kenal Bhineka Tunggal Ika.
Tega sekali. Apa mereka tidak malu dengan anak yang sering disebut bocah ini?
Hanya karena berbeda warna kulit, mereka selalu berbangga disandingkan dengan sombong.
Memang tak semua orang yang menghakimi Papuaku. Tapi kebanyakan orang memang lebih memilih berkulit putih, bukan?
Ya aku tau itu pilihan, aku tidak bisa memaksa pilihan orang.
Maaf. Aku hanya berusaha mengembalikan Papuaku.

Putihmu tak ada gunanya jika kotor hatimu.
Banggalah dengan perbedaan kita.
Coba kau pikir, apa pelangi akan indah jika hanya warna merah yang muncul?
Oh, tentu tidak. Itu terlalu biasa.
Dan Tuhan menciptakan kita berbeda-beda, supaya kita bisa jadi luar biasa.
Bukannya malah kurang dari biasanya.

Tak ada yang tau kapan masalah ini selesai dan mungkin tak akan seperti dahulu.
Masalah ini terngiang dikepalaku saat ini dan mungkin akan seterusnya.
Bukan perkara cinta, tapi tentang bagaimana hidup berkerumun dengan masa yang hanya mau menang sendiri.
Benarkan? Jika tidak percaya lihat saja masalah seleb yang berhasil terkenal.
Walaupun mereka salah, tetap terucap pembelaan diantaranya.
Walaupun mereka salah, tetap ada kata “maklum” di dalamnya.
Karena apa? Karena mereka menampilkan paras apik yang elok dipandang.
Dan pembelaan terhadap “good lucking” terpampang jelas.
Sampai kapan hal ini didiamkan menggampar kehidupan?
Apa harus menunggu hancurnya negara ini baru sadar?
Oh… Sungguh kalian terlambat.

Maafkan aku, sepertinya aku terlalu egois.
Tapi aku tetap kukuh mengembalikan damainya Papuaku.
Dan maafkan aku, aku belum bisa menjadi se-egois mereka yang mementingkan dirinya sendiri. Karena aku cukup naif mengerti soal ini. Yang aku tau hanya keadilan. Tapi aku tidak menemukannya pada bagian Papuaku.

Tak salah jika semua orang mempunyai perspektif masing-masing. Karna ya memang seharusnya begitu.
Tapi bukan juga tak salah jika meminta sedikit keadilan?
Bukan dari Raja ataupun Bangsawan, yang aku maksud adil sesama rakyat kecil.

Jangan biarkan sifat angkuh yang banyak melumuri hatimu.
Jangan biarkan budaya dan kesatuan kita terkikis dengan budaya asing.
Kumohon, mengertilah.
Kita semua saudara tanpa memandang apapun.

Apa para pejuang terdahulu tak akan marah jika tau ini semua?
Sungguh saudaraku, ini memalukan.
Apa pantas ini semua kita hadiahkan untuk mereka yang rela bertukar nyawa hanya untuk generasi kita?
Para pejuang mungkin kecewa dengan sikap mereka yang seenaknya.
Karena warna kulit tak menentukan apapun.

Disini aku hanya seonggok manusia yang masih belia.
Umurku belum sepenuhnya pantas berbicara seperti ini.
Tapi siapa lagi kalau bukan aku?
Mengandalkan para manusia yang sudah dewasa?
Kurasa itu ide yang buruk.
Karena menurut ku, manusia dewasa cenderung lebih tak peduli soal ini.
Biarkan lah aku dicaci masih bocah.
Tak apa, setidaknya aku telah bertindak lebih dewasa dibandingkan umurku.
Tidak seperti mereka yang sikapnya jauh lebih kurang dari umurnya.
Umurnya sudah matang, tapi kelakuan hanya seperti anak bocah yang baru kenal perbedaan.
Itu konyol.

Ini sakit.
Sakitnya melebihi kecewa cinta. Ini lebih dari cinta.
Apa? Persaudaraan. Bahkan setelah berpuluh-puluh tahun merdeka.
Aku baru mendengar kasus ini.
Atau mungkin diriku saja yang terbungkus masalah sendiri.
Hingga tak tau apa yang terjadi di luar sana.
Maaf jika aku terlalu memaksa untuk ini.
Kembali ku tegaskan, aku ingin Papuaku kembali.
Kembalikan Papuaku yang dulu. Kembalikan negaraku yang dulu.
Kembalikan semua kaharmonisan yang dulu.

Aku rindu…
Aku tak menyalahkan siapapun.
Tapi aku kesal dan geram dengan mereka yang selalu membandingkan perkara ini.
Kembali lah ke masa beberapa tahun lalu.
Yang isinya hanya bersatu melawan musuh.
Bukan bersatu melawan hukum.

Penulis: : Meyla Amanda Putri
Ig: @meylamnd

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini