MATA INDONESIA, – Aku Maruna, warga ibu kota di Papua yang merantau ke kota besar di Jawa. Aku ingin membagikan sedikit kisahku saat kuliah dari hal yang tidak mengenakkan sampai hal yang menjadi awal mula harapan keberadaanku dan perubahan yang dapat kulakukan.
Saat semester 3, aku mendapat undangan pernikahan temanku. Aku yang tidak punya baju pesta pun memutuskan untuk mencari baju pesta berwarna cerah di toko baju terdekat. Kakak-kakak SPG selalu menyarankanku memilih baju berwarna hitam atau krem tua. Aku yang belum menyerah terus mencari baju yang sesuai di tempat lain. Waktu itu aku melihat baju pesta berwarna biru muda yang sangat anggun. Saat aku memperhatikan detail baju itu, aku mendengar percakapan dua orang perempuan didekatku sedang mencoba baju pesta. Salah satu dari mereka menempelkan bajunya di depannya sambil melihat bayangan dirinya di cermin lalu bertanya pada temannya, “Cocok, gak?”
“Warna kulitmu, ‘kan, cerah, jadi pakai baju apa aja juga cocok,”
Tiba-tiba aku menyadari suatu hal. Apa mungkin kakak-kakak SPG tadi memilihkanku baju berwarna gelap karena warna cerah tidak cocok dengan warna kulitku? Apa benar sebagus dan semahal apapun baju warna lain tidak akan pernah cocok denganku? Apa kalau aku terlahir berkulit putih aku akan cocok menggunakan pakaian apapun? Hmm, sebenarnya aku pernah membayangkan hal ini, pasti aku jadi lebih terlihat lebih cantik dan percaya diri. Produk kosmetik juga sering menjanjikan warna kulit menjadi putih, bukan terlihat bersih dan sehat. Bahkan kalaupun kita tidak bisa membeli produk-produk itu, beberapa filter kamera sekarang dapat membuat wajah kita terlalu pucat.
Sebenarnya tidak hanya permasalahan tentang warna kulit saja yang sering menggangguku. Aku ingat betapa susahnya mencari kos di dekat kampusku. Bayangkan, dalam 2 hari aku sudah mengunjungi 10 kos dan hampir semuanya penuh. Kos yang tidak penuh sangatlah jorok ataupun harganya yang terlalu mahal. Sebelumnya aku pernah mendengar kalau orang “sepertiku” akan susah mencari kos – kalaupun ada, pemilik kos akan menaikkan tarif kos – tapi aku tidak menyangka akan sesulit ini. Aku pun akhirnya menemukan kos yang sesuai yang berjarak 2 km dari kampusku. Lingkungannya cukup bersih dan nyaman. Penghuninya kebanyakan orang-orang dari timur Indonesia. Entahlah bagaimana perasaanku sekarang, aku merasa senang karena akhirnya sudah menemukan kos baru, tapi disisi lain aku juga merasa sedih karena rasanya kami yang tinggal disini sedang diasingkan.
Selain hal itu, aku juga sering mendapat tatapan tidak menyenangkan dari orang-orang setiap kali aku berjalan bersama teman-temanku lalu berkata, “Memang, ya, cuma mau bergerombol sama sesamanya aja,” atau “Kasian banget gak, sih, kuliah jauh tapi ujung-ujungnya kumpul lagi sama temen sekampung,”. Aku yang mendengarnya merasa kepala dan hatiku mendidih. Bagaimana kami bisa berbaur jika kalian menatap kami dengan benci? Atau dengan sengaja memilih jalan lain saat kami bergerombol? Atau tidak diterima hampir disemua kos? Aku juga pernah mendengar mereka “takut” pada kami sehingga melabeli ras kami sebagai orang kasar dan kurang pendidikan kalau “kelompok kami” melakukan kesalahan, tetapi mereka tidak melabeli ras atau golongan lain jika melakukan kesalahan serupa.
Aku mengikuti komunitas taman kota di luar kampus saat semester 3-8 yang awalnya kulakukan sebagai pelarianku dari masalah-masalah itu. Kami harus membuat taman yang indah dari bekas pemukiman liar dan kumuh yang telah diratakan. Sampah-sampah menggunung tinggi di tempat itu membutuhkan waktu yang lama untuk dibersihkan. Saat kami mulai membuat area hijau, kami baru sadar tanah diarea itu tidak terlalu subur sehingga sangat sulit untuk menjadikannya taman yang menarik di kunjungi. Dengan jumlah anggota yang sedikit, kami kewalahan mengurus semua itu. Bahkan setelah sampah-sampah itu dibersihkan, selalu ada sampah baru yang sembarangan dibuang oleh warga sekitar.
Selesai membersihkan tumpukan sampah, ketua kami memutuskan untuk menanam tanaman dan bunga yang sesuai jenis tanah dengan memberikan perawatan maksimal. Selama beberapa bulan kami mencoba mengajak bicara tanaman, memberikan air dan pupuk yang cukup, serta menyingkirkan rumput liar yang tumbuh. Saat bunga dan tanaman tumbuh subur dan sehat, kami merasa bangga yang tidak ada duanya.
Setelah satu tahun kami berusaha, taman kami pun sekarang menjadi indah. Pemerintah setempat membantu pembangunan fasilitas taman dan warga setempat membantu membersihkan taman dan menyumbang bunga kesayangan mereka. Hingga saat peresmian taman, kami nyaris tidak percaya taman di depan mata kami dulunya pemukiman liar yang kumuh.
Taman kota itu ramai saat akhir pekan tiba. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan disana. Tugas kami menjadi berat saat akhir pekan berakhir karena taman menjadi kotor dan beberapa bunga rusak. Kadang kami harus meminta bantuan dari komunitas pecinta lingkungan yang lain untuk membantu kami. Saat pertemuan rutin, kami selalu membahas cara agar mengurangi dampak kerusakan taman. Saat itu aku menyarankan agar komunitas kami mencoba melakukan pembelajaran untuk anak-anak TK dan SD di taman. Menurutku anak kecil adalah role model yang tepat karena mereka masih polos, suci, dan tulus. Aku juga menyarankan agar menjual beberapa merchandise tentang kampanye kepedulian lingkungan.
Komunitasku setuju dengan ide yang kuberikan. Banyak halangan yang kami terima selama 6 bulan menjalankan program itu sampai rasanya menjadi masa terberat bagi kami. Namun, kami sangat solid, kami selalu saling mendukung jika ada yang sudah kewalahan, dan saling membantu mencari koneksi seluas mungkin. Pada akhirnya, kami bisa melewati semua itu dengan kerja keras yang tidak ternilai harganya. Taman tetap bersih dan indah saat akhir pekan. Pengunjung sudah memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga taman agar indah. Setiap kali melihat orang-orang menikmati kegiatan mereka di hari yang cerah di taman yang indah itu, aku merasa senang. Kehangatan dari senyuman dan tawa mereka membuatku lebih bersemangat dalam menjalani hari-hariku.
Bergabung dalam komunitas taman kota membuatku belajar banyak hal. Taman yang awalnya dari pemukiman kumuh itu bagaikan lingkungan toxic yang membutuhkan kerja keras ekstra untuk menjadikan taman yang indah. Dimulai dari membersihkan sumber-sumber yang membuat hati seseorang kotor, menebarkan benih-benih kebaikan, ketulusan, cinta, dan kepedulian, merawat benih itu hingga menjadikan masyarakat yang harmonis, mempengaruhi orang lain untuk berbuat hal-hal positif, hingga menjaga masyarakat baru yang rukun, harmonis, dan sejahtera. Aku pun mempraktikkannya pada kehidupan ku di luar komunitas dan hasilnya jauh lebih berbeda. Aku jauh lebih percaya diri dan banyak orang yang membuka hatinya untuk kehadiran ku.
Kini aku telah bekerja di perusahaan ternama, taman baru yang siap aku jaga keharmonisan dan kedamaiannya. Aku berharap orang-orang sepertiku yang masih berjuang bisa bangkit dari lingkungan toxic dan membuat taman baru yang tidak kalah indahnya.
Penulis: Wara Andriani Nur Aziza.
Ig: @sasazaza_