Perlawanan Ini Belum Usai

Baca Juga

MATA INDONESIA – Entah bagaimana kisah ini akan kumulai. Yang jelas ada banyak rentetan hal menarik yang menurutku dapat menjadi pelajaran, penggambaran, contoh dan sebagainya untuk bekal di masa depan.

Sekarang ini, beberapa dari masyarakat sudah ramai sibuk memikirkan dan mengurusi sikap-sikap yang “katanya” bersifat jangka panjang. Mulai menekuni hal-hal yang dihadirkan oleh teknologi perkembangan zaman, seperti apa yang disebut era Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, dan lain sebagainya. .

Tetapi poin itu harusnya tidak melenakan kita dari apa yang sebenarnya harus benar-benar dimiliki setiap orang, apa yang perlu diutamakan, diterapkan dan apa yang perlu disebar untuk banyak orang.

Hal itu bukan bermaksud bahwa mengikuti perkembangan zaman bukan hal utama, tapi memang ada hal-hal yang lebih krusial, seperti apa yang sebenarnya dapat diambil dari beberapa part hidup kita saat ini.

Aku salah seorang mahasiswi dari universitas tidak ternama, dengan kampus terakreditasi B berikut juga dengan jurusanku. Aku mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang berfokus pada ilmu jurnalistik, pekerjaan seorang pengamat yang menurutku cukup ideal. Walau akhir-akhir ini mulai muncul sekte-sekte yang skeptis terhadap jurnalistik, tapi siapa peduli, seorang penulis sejati menulis apapun yang ia akan tulis, baik itu berjenis teks berita, rilis, artikel, atau cerita.

Hal yang terpenting itu hanyalah menulis, suka tidak suka, percaya atau tidak, setidaknya tugas seorang penulis ialah menyampaikan sebuah informasi. Meskipun secara khusus jurnalis dan penulis adalah profesi yang berbeda yah, walau generalnya bagiku sama saja.

Baru berselang satu tahun dari sekarang, yaitu tahun 2020 sedikit banyaknya orang yang masih mengingat peristiwa di waktu itu, dimana saat pandemi ala pemerintah masih marak digalakan. Namun nyatanya ada kabar yang lebih buruk sedang dipersiapkan, yaitu rumusan persoalan pasal-pasal UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang direvisi, hal itu menjadi kelahiran masalah baru bagi beberapa kalangan.

Persoalan tersebut banyak dikabarkan melalui media sosial, membuat ramai platform media digital dengan isu-isunya, kebisingan pendapat pribadi disalurkan, lewat tulisan, video dan aksi lapangan, ada yang pro dan ada yang kontra, meski menurutku sendiri lebih banyak terlihat yang kontra.

Tak terlepas juga dengan isi kampusku yang mulai berisik, tiap-tiap organisasi dan komunitas mengadakan pertemuan besar-besaran (skala wilayah) baik itu dari kampus lain yang berbeda wilayah, atau yang masih satu kawasan, hingga akhirnya diputuskan dengan tindakan membuat koalisi untuk turun ke lapangan menyampaikan aspirasi yang bertempat di kampusku.

Karena kebetulan, kawasannya cukup strategis untuk menjadi sorotan masyarakat kota. Keputusan untuk beraspirasi, menyampaikan kritik terhadap aparatur pemerintahan yang akan dilakukan itu, sudah menjadi hasil keputusan yang sesuai dengan ketentuan di UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) dalam hal hak asasi manusia. Bahwasanya setiap orang memiliki hak untuk berpendapat.

Karena pada dasarnya-pun aparatur pemerintahan ini disetujui untuk dibuat, sebab untuk membangun negara dan rakyatnya menjadi lebih baik, jadi dalam membuat kebijakan atau aturan tidak boleh dilakukan secara semena-mena. Memutuskan apa yang hanya menurut “Mereka” paling ideal dan paling baik. Karena pada kenyataannya tidak semua dari yang mengikuti pengoprasian peraturan tersebut benar-benar pernah merasakan hidup bersamaan dengan debu-debu jalanan. Jadi sudah seharusnya kritik dan saran yang keluarkan oleh masyarakat menjadi poin yang harus benar-benar difikirkan.

Singkatnya prosesi aksi mahasiswa sebagai sikal unjuk rasa terhadap rumusan yang direvisi itu dimulai pada siang hari dan berakhir sampai jam 12 (dua belas malam) karena ada hal yang membuat prosesi tersebut menjadi sangat tidak produktif dan tidak berjalan seperti yang direncanakan.

Benturan dari pihak mahasiswa dengan aparat kepolisian ikut berlangsung pada saat itu sehingga kegiatan tersebut berjalan cukup lama.

Dengan satu kisah pengalaman itu saja kita sudah mendapat satu gambaran, Bahwasannya Indonesia masih dikelilingi orang-orang yang peduli pada sodara sebangsanya, yang bahkan tidak dikenal atau tidak diketahui. Bagaimana bisa hal ini masih dijadikan pertanyaan. “Siapa Pahlawannya?!”

Tentu semua orang yang benar-benar masih mampu mempertahankan rasa peduli terhadap masyarakatnya, terhadap saudara yang tidak dikenalnya, terhadap orang-orang sebangsa setanah airnya, yang masih mau mendengarkan keluh kesah kehidupan, berani mengambil tindakan pernyataan sikap demi kemaslahatan orang banyak yang padahal hal itu tidak menghasilkan imbalan besar pada dirinya secara pribadi.

Jika hal-hal seperti itu disandarkan pada seorang yang “modern” dalam arti hanya fokus terhadap penciptaan yang baru, tentu nantinya akan menimbulkan indikasi sifat apatis, Karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Kita jangan sampai lupa bagaimana negara ini dibangun, yaitu terlahir dari persatuan banyak unsur (Wilayah, ras, budaya, dan sebagainya).

Sebenarnya hal-hal modern yang di isi oleh generasi milenial ini cepat atau lambat akan membaur dengan sendirinya, entah itu dibawa oleh pendatang atau rakyat setempat itu sendiri. Jadi, Baiknya kita semua tidak hanya memiliki tujuan mengembangkan atau membangun hal-hal baru, tapi juga harus terus memaksakan diri untuk mempertahankan apa yang sebenarnya sudah mengakar yaitu rasa kemanusiaan.

Penulis: Dwi Haryanti

– IG dan Twitter : @d_haryanti
– Youtube : Dwi Haryanti

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Optimisme Pemerintahan Prabowo Subianto Mampu Wujudkan Swasembada Pangan Dalam Kurun 2 Tahun

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto, menyampaikan keyakinannya bahwa pemerintahannya akan berhasil mewujudkan swasembada pangan dalam dua tahun mendatang, tepatnya...
- Advertisement -

Baca berita yang ini