By Hussen Gani Maricar (Jurnalis)
MINEWS.ID – Kekuatan kata tidak melulu ada pada harfiahnya. Terkadang bobotnya justru ada pada tafsirnya. Itulah yang sepertinya terjadi pada sejumlah kata di beberapa hari ini. Kata Muslim, misalnya, harfiahnya bermakna orang yang tunduk dan berserah diri kepada Allah. Tapi pada tafsir pergaulan, kata ini dipahami kena dengan identifikasi diri orang islam.
Maka dengan enteng, karena bersandar pada tafsir, orang tak ada yang tersinggung ketika mendefinisikan diri sebagai non muslim.
Tentu cerita akan lain ketika, makna non muslim ini identik ketat dengan harfiahnya. Sebab siapa mau mengidentifikasikan diri sebagai kalangan pembangkang – bukan orang yang tunduk dan berserah diri.
Kata kafir, sepertinya juga mirip. Kata ini tafsirnya lebih maju ketimbang harfiahnya. Harfiahnya masih berkisar pada pengingkaran, sementara tafsirnya sudah ke mana mana. Tapi berbeda nasib dengan kata “muslimâ€, kata kafir bukan kata pergaulan. Ini kata yang punya bobot “sakralâ€.
Karena urusannya berkait full dengan makna penghayatan. Sehingga menjadi sangat tidak lazim digunakan sembarangan untuk membidik hidung orang lain.
Baginda Rasululllah, orang paling maksum di muka bumi, syahdan juga tidak pernah menggunakan kata kafir untuk membidikkan panggilan sehari-hari. Hatta terhadap yang menentang Islam.
Lain hal kalau Allah yang menggunakan kata ini. Siapa berani protes!
Setidaknya ratusan kali kata kafir dikedepankan Alquran dengan beragam makna. Pasti Allah tidak awam menggunakan kata kafir. Lalu jika Allah menggunakan istilah kafir secara tegas dan lugas, akankah itu berarti kita secara otomatis mendegradasi perasaan penganut agama di luar Islam?
Tentu tidak se-baper itu. Semua agama ada ketegasan dan kelugasannya sendiri. “Jalan–jalanlah†ke ranah keyakinan agama lain. Pasti kita akan bertemu dengan prinsip yang berbeda. Dan itu agamis sekali. Jika tidak ada prinsip ketuhanan yang berbeda, tentu agama ini tidak akan beberapa.
Tapi ini tidak lantas — atas nama toleransi dan perasaan – membuat kita terdorong melakukan gerakan “Eufemisme†– penghalusan makna — firman. Naudzhubillah bisa keblinger. Neraka ya neraka. Nggak juga logis dihalus – haluskan.
Di ruang agama lain, juga sama. Pasti ada kok identifikasi yang dilekatkan untuk mereka yang berbeda keyakinan. Tak mengapa. Itu Agamis sekali. Semisal, ada ungkapan mengenai “domba yang tersesat.â€
Atau dikhotomi antara astika – yang percaya pada otoritas veda dan nastika yang sebaliknya. Maitrah – dalam hindu atau abrahmacariyavasa dalam ajaran Budha, yang intinya setara dengan kafir. Ada dan dikenal kok. Tapi ini sudah ribuan tahun tak menyinggung perasaan umat lain. Itu sangat agamis.
Kata Kafir, juga sama. Tak perlu dikhawatirkan. Itu kata yang digunakan Allah berkait dengan totalitas ketauhidan.
Dan dalam beberapa ayat, Allah tegas menyampaikan hal ini. Firman Allah Q.S. At-Taghobun: 2, yang artinya; “Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan ada yang mukminâ€
Atau perhatikan sebagaimana dalam surat al insan ayat 3, yang artinya, “ Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.â€
Karena ini bersentuhan prinsip tauhid, maka jangan sembarangan menggunakan kata kafir. Hatta itu dalam pergaulan.
Baginda Rasululllah sudah mewanti-wanti ini. Siapa saja yang berkata kepada saudaranya,†Hai Kafirâ€. Maka akan terkena salah satunya jika yang vonisnya itu benar, dan jika tidak maka akan kembali kepada (orang yang mengucapkan)nya.†(HR Bukari dan Muslim)
Mafhumilah bahwa kata kafir, bukan definitive yang digunakan manusia untuk melakukan segregasi sosial atas dasar keyakinan: kafir dan beriman. Kafir juga bukan pula kata dengan diksi degradative atas derajat social seseorang. Karena kafir, hakekat konteksnya lebih ditujukan untuk mempertegas prinsip dan kesadaran ilahiah seseorang.
Dan ini agamis sekali.