MATA INDONESIA, Saya lahir dan besar di ujung timur Pulau Indonesia. Saya lahir di kota yang sangat indah, yaitu Tembagapura. Buat saya, Tembagapura seperti saat kita sedang berada di Eropa versi mini. Lalu saat taman kanak-kanak saya pindah ke Kota Jayapura dan tinggal bersama ibu dari ayah saya.
Orang tua saya bukan asli warga Papua. Walaupun bukan asli Papua, saya sangat mencintai tanah Papua. Buat saya Papua adalah segalanya. Bahkan meskipun pada tahun 2010 keluarga kecil saya memutuskan pindah ke Pulau Jawa, kami tetap menggunakan bahasa Papua sebagai bahasa sehari-hari.
Masih banyak keluarga saya yang berada di Jayapura. Entah itu mereka tinggal dan menetap di sana atau sekedar bekerja di sana. Juga masih ada paman dan bibi saya yang bekerja di Tembagapura.
Semenjak saya pindah ke Pulau Jawa dan bertemu dengan orang baru mereka pasti akan bertanya, “Kamu orang apa?” atau “Kamu asli mana?”
Saya selalu menjawab, “Saya orang Papua” atau “Saya dari Papua.”
Bisa ditebak bagaimana respon mereka? Ya. Tidak ada satu pun yang percaya kalau saya dari Papua. Kebanyakan respon mereka seperti, “Masa kamu orang Papua? Kok rambutnya ga keriting? Orang Papua kan kulitnya hitam, rambutnya keriting.”
Tapi ketika saya mencoba menjelaskan, sampai kadang menunjukkan kartu identitas, atau menunjukkan nomor polisi mobil saya, mereka baru percaya bahwa saya dari Papua.
Banyak orang yang masih belum paham tentang bagaimana kondisi di Papua. Mereka hanya melihat dari berita di televisi atau dari mulut ke mulut. Selain itu juga masih ada orang yang melihat dari satu kaca saja. Di mana menurut mereka kehidupan di Papua itu sangat jauh tertinggal. Atau misalnya warga Papua adalah orang yang kurang ramah. Jika kalian belum pernah datang ke Papua, saya rasa jangan langsung menilai dari satu sisi saja.
Menurut saya warga Papua sangat ramah-ramah. Sama seperti warga kota-kota lainnya. Jika kita bersikap baik kepada mereka, maka mereka juga akan memperlakukan kita dengan baik juga. Terutama anak-anak di sana. Mereka mudah berbaur dengan orang baru dan juga ramah kepada orang yang baru mereka kenal.
Hal itu terlihat dari beberapa video unggahan di Youtube. Apalagi ketika ada Warga Negara Asing (WNA) yang meliput ke daerah daerah yang jarang didatangi. Anak-anak akan senang ketika masuk di video dan akan berebut untuk bisa terlihat oleh kamera.
Meskipun sudah lama saya tidak pulang ke Papua, namun saya tidak pernah ketinggalan berita terkait apa yang terjadi di sana. Di grup keluarga besar kami juga selalu saling berbagi tentang apa saja yang sedang terjadi di Papua.
Buat saya dan keluarga besar saya, ukuran kulit hitam dan rambut keriting bukan menjadi tolak ukur. Ketika kita mencintai sesuatu, kita tidak akan pernah memandang dari segi apapun. Meskipun kami tidak memiliki kulit hitam dan rambut keriting, namun kami semua sangat bangga menjadi anak-anak Papua.
Ketika melihat unggahan di media sosial tentang lomba ini, saya sangat bersemangat dan ingin sekali berbagi tentang pengalaman pribadi saya selama saya tinggal di sana. Karena menurut saya, banyak hal yang bisa kita bicarakan tentang Papua.
Apa yang terlintas di benak kita semua tentang kedamaian untuk Papua? Pasti banyak sekali. Misalnya beberapa penembakan yang masih terjadi, demo dimana-mana yang terkait dengan rasisme, warga pedalaman yang masih tinggal tanpa listrik, dan lain-lain.
Namun buat saya kedamaian untuk Papua yang ingin saya bagikan adalah tentang pendidikan. Kenapa saya ingin membagikan hal ini? Karena menurut saya, tidak terlalu banyak orang yang tahu tentang kondisi pendidikan di sana. Selain itu menurut saya tidak hanya orang dewasa saja yang tinggal di sana, ada juga anak-anak. Karena anak-anak merupakan penerus bangsa, maka mereka juga mendapatkan hak yang jauh lebih besar untuk kita perhatikan bersama.
Saya ingin kembali ke masa-masa dimana kakek dan nenek dari ibu saya tinggal di kota kecil yang indah. Masa-masa dimana ibu saya dan adik-adiknya masih sangat belia.
Dulu, keluarga ibu saya tinggal di Tembagapura. Kakek saya bekerja di perusahaan tambang PT. Freeport Indonesia. Jadi istri dan kelima anaknya juga tinggal di sana. Paman dan bibi saya bahkan juga ada yang lahir di sana.
Ibu saya pernah bercerita bahwa mendiang nenek saya adalah seorang guru. Tetapi nenek saya bukan seorang guru yang terdaftar di pemerintah dan dibayar oleh pemerintah.
Beliau mendedikasikan tenaga dan waktunya untuk pergi ke sebuah desa bernama Desa Banti. Di sana ia mengajar anak-anak kecil yang merupakan warga asli Papua. Beliau mengajar mulai dari bagaimana cara untuk mandi hingga belajar membaca.
Setiap ada waktu luang, pagi-pagi sekali beliau sudah pergi ke desa tersebut. Terkadang beliau pergi dengan berjalan kaki tetapi terkadang juga diantar oleh kakek saya. Dengan jarak yang tidak dekat, beliau ingin agar anak-anak di desa tersebut setidaknya bisa membaca dan nantinya membantu pekerjaan orang tua mereka yang rata-rata bekerja sebagai petani.
Dari semua yang dilakukan oleh mendiang nenek saya, beliau tidak pernah meminta uang kepada orang tua dari anak-anak tersebut. Beliau benar-benar ikhlas membantu mereka untuk belajar. Tetapi biasanya ketika panen, para orang tua akan membalas jasa beliau dengan memberikan hasil panen mereka.
Beberapa tahun berlalu, beberapa dari anak-anak tersebut ada yang bisa mendapat pekerjaan. Ada juga yang tinggal bersama kakek dan nenek saya. Dan ternyata saat anak-anak itu sudah dewasa, mereka tidak langsung melupakan jasa dari mendiang nenek saya.
Dalam tahun yang berjalan itu, nenek saya sakit hingga akhirnya dipanggil oleh Tuhan pada tahun 1997. Menurut cerita ibu saya, saat kepergian beliau banyak sekali orang-orang, terutama dari Desa Banti yang terpukul dan sedih. Mereka yang saat kecil diajarkan oleh beliau juga merasa sangat kehilangan sosok guru dan juga ibu.
Dari cerita di atas, apa yang bisa saya bagikan? Saya ingin berbagi bagaimana pendidikan di Papua masih sangat jauh dari pendidikan di kota-kota besar lain. Padahal menurut saya, hal penting dari berkembangnya sebuah bangsa adalah bagaimana para anak-anak bisa lebih banyak belajar untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka untuk sebuah pembangunan negara.
Saya yakin, banyak dari mereka yang sebenarnya ingin sekali pergi ke sekolah dan belajar. Tapi lagi-lagi, salah satu kendala yang dimiliki adalah dari segi ekonomi. Untuk sekedar bisa makan saja mereka sudah sangat bersyukur.
Pengalaman saya di atas menggambarkan sedikit sekali dari keadaan pendidikan sebenarnya yang ada di Papua. Jika kita kembali ke saat ini, apa yang akan terpikirkan di benak kita?
Pada beberapa tahun lalu saja begitu tertinggalnya pendidikan di sana. Dengan segala keterbatasan akses dan hal ekonomi. Di masa seperti sekarang saat dunia tengah menghadapi sebuah pandemi besar, bagaimana dengan nasib anak-anak di Papua? Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah yang jauh dari kota dengan keterbatasan jaringan?
Di Indonesia, semua sekolah diharapkan untuk belajar dari rumah atau belajar secara daring untuk memutus rantai dari virus Covid-19. Terutama pada saat virus ini baru masuk ke Indonesia, semua kegiatan belajar-mengajar di sekolah langsung diberhentikan agar tidak makin banyak orang yang terinveksi virus Covid-19.
Jalan satu-satunya yang diambil pemerintah adalah belajar melalui aplikasi Zoom, Google Classroom, atau Google Classmate agar tetap ada interaksi antara guru dan pelajar. Semua orang tua juga tidak sengaja harus mengambil peran penting dalam kegiatan anak selama belajar di rumah.
Lalu bagaimana dengan teman-teman kita yang berada di pedalaman. Mereka tinggal jauh dari kota, jauh dari ponsel, dan juga jauh dari jaringan internet. Bagaimana mereka cara mereka belajar? Mereka juga pasti berusaha agar tidak terkena virus Covid-19 tapi juga mereka ingin belajar.
Saya masih belum tahu apa langkah yang diambil pemerintah untuk menangani sekolah-sekolah yang jauh dari jaringan internet dan juga untuk anak-anak yang termasuk dalam ekonomi kurang mampu. Bukankah jika mereka tidak boleh melakukan belajar tatap muka justru mereka akan semakin jauh tertinggal dengan semua mata pelajaran?
Menurut artikel jubi.co.id, pendidikan di Papua semakin menurun semenjak pandemi terjadi. Tidak ada aktivitas belajar-mengajar yang dilakukan di sekolah. Semua anak-anak juga pada akhirnya membantu orang tua mereka bekerja. Tidak ada pilihan lain.
Lalu Aktivis Gerakan Papua mulai meluangkan waktu mereka untuk sebuah hal yang luar biasa. Hal yang kembali membangun semangat anak-anak di pedalaman untuk kembali belajar. Mereka membentuk sebuah kelompok kecil di beberapa rumah. Membantu para anak-anak di sana agar mereka bisa tetap bisa belajar. Agar mereka tetap bisa mengejar cita-cita dan impian.
Dari beberapa potret foto yang diambil, wajah mereka memancarkan sinar bahagia. Senyum yang membuat siapa saja melihatnya menangis. Terharu atas semangat yang mereka yang masih ada meskipun tidak ada gedung sekolah dan harus belajar dari rumah.
Ini adalah salah satu langkah kecil dari sekian banyak langkah yang bisa dilakukan sebuah komunitas yang ada di sana. Di mana mereka sangat peduli dengan perkembangan pendidikan adik-adik mereka. Takut akan bagaimana masa depan yang akan dihadapi jika terus-terusan tertinggal dari segi pendidikan.
Banyak hal yang harus diperbaiki dan menurut saya hal yang paling penting adalah terkait pendidikan. Satu per satu dari kita harus mau menoleh terkait dengan adik-adik kita yang ada di Papua agar mereka tidak semakin jauh tertinggal dari aspek pendidikan. Saya harap dengan adanya lomba dan artikel ini bisa membuat kita semakin tergerak untuk membantu. Entah itu dari donasi berupa uang atau berupa buku-buku yang masih layak pakai untuk membantu mereka belajar dari rumah.
Penulis: Aprilya Anna Putri Simanjuntak
Ig: @aannaaputri
Fb: @Anna Putri
Semangat terus adiks…