MATA INDONESIA, – Sebuah balon yang berisi helium, terbang dalam seutas tali yang mengikat dirinya, terjual dalam sebuah keramaian hilir-mudik orang dalam pentas pertunjukan dan pasar malam. Itulah Papua.
Namun sayang, Papua yang tergambar sebagai Balon Helium itu tidak termasuk dalam golongan gas mulia yang stabil, terlalu riuh, ingin berdamai dan berangan untuk mendapatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu syarat dan ketentuan yang berlaku.
Papua, siapa yang tidak kenal? Raja Ampat, siapa yang tidak terpesona? Cendrawasih dan Kasuari, siapa yang tidak tertarik? Puncak Jaya Wijaya, siapa yang tidak ingin menapak ke sana? Iya, Papua adalah salah satu surga yang mulai terjamah oleh manusia. Bukan hidden gem lagi, Papua adalah permata onyx yang begitu eksotis untuk dimiliki. Papua adalah bagian dari Indonesia yang mewah akan alamnya, megah karena sumber daya hayatinya, mengkilau karena hasil tambang dan keberagamannya.
Papua, pulau terbesar di negara Indonesia dengan luas kurang lebih 420.540 km2, merupakan pulau paling timur di Indonesia dengan beragam cerita dan tempat yang ikonik. Luas dari kepulauan Papua itu tidak hanya berupa daratan saja, melainkan juga lautan yang penuh dengan keragaman hayati dan keindahan laut bak surgawi yang terukir cantik dengan gugusan terumbu karang yang tertata rapi. Papua sangat eksotis memang, dengan luas tersebut, tercatat sebanyak 255 kelompok suku asli papua dengan paras mereka yang autentik.
Nama Papua tidak hanya sebutan tidak bermakna, sebenarnya Papua memiliki arti rambut keriting. Penamaan itu diambil dari bahasa Melayu yang menggambarkan bagaimana Tuhan menciptakan makhluk hidup yang beragam, termasuk saudara-saudara kita di Papua.
Sebelum UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus Papua diresmikan, banyak penyebutan nama untuk pulau yang terkenal dengan keunikan burung Cendrawasih dan Kasuari ini. Salah satunya adalah Irian atau biasa disebut Irian Jaya. Irian merupakan sebuah akronim yang berarti Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Hingga akhirnya, setelah presiden pertama kita menandatangani kontrak kerja dengan PT Freeport, dibarengilah dengan perubahan nama tersebut yang ditambah dengan Irian Jaya. Tidak disangka sebenarnya, bahwa nama Irian begitu menggambarkan makna perjuangan. Papua yang kita kenal saat ini, ternyata ingin sekali mengikat diri dengan pemerintahan kita layaknya saudara mereka di pulau yang berbeda. Dengan penuh harap nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang bijak dan keadilan, juga dapat terhirup segar di tanah ini.
Berbicara tentang PT Freeport Indonesia, pro dan kontranya tidak kian habis usianya menjadi perbincangan hangat tatkala manusia ingin terus menguasai jagat raya. Tambang yang terus digerus hingga ke dalam perut bumi menjadi aset yang haknya milik Papua untuk menyejahterakan rakyatnya, seharusnya. Namun bagaimana kenyataannya? Bijih tembaga itu ternyata tidak menguatkan bahwa pemerintah mampu membangun Papua untuk bergerak maju dari pulau lainnya. Emas yang sangat bernilaipun tidak mampu membuat papua terlihat lebih berkilau dari pulau lainnya akan hasil tambang tersebut. Perak yang beragam manfaatnya seperti tidak ada manfaatnya lagi bagi Papua.
Pemerataan keadaan sosial inilah yang kurang untuk Papua. Mega Investasi oleh dua perusahaan besar yang mengelola tambang itu mestinya mampu menaikkan martabat ekonomi di sana. Dengan perekonomian yang stabil, pemerintah dan rakyatnya pasti bisa membuat Papua lebih terarah kondisi sosialnya.
Tidak hanya paras elok mereka yang tinggal di provinsi Papua saja yang autentik, namun juga pariwisata dengan pesona alamnya. Raja ampat adalah salah satunya, terkenal karena lautan hijau-biru yang menenangkan dan ombak laut yang menyerukan tentang kemanusiaan di bentala yang kadang ditirikan oleh ibundanya. Ditirikan? Bagaimana? Beberapa kasus pelanggaran HAM ada yang terabaikan di sana, kasus Wasior, Wamena dan Paniai misalnya. Kerusuhan Wamena, Wasior berdarah, dan Paniai karena kesalahpahaman, kejahatan verbal, dan dibuntuti dengan rasisme membuat masalah ini cukup menyita waktu penyelidikan begitu lama.
Penyelesaian masalah tentang Papua ini seperti merebus batu yang tidak akan masak. Kerusuhan yang sering terjadi di sana tak lain untuk membela Hak Asasi mereka sebagai manusia sesuai kodratnya. Meski kerajaan terumbu karang di Raja Ampat masih menarik perhatian, penyelesaian kasus HAM di Papua sudah tidak ada lagi daya yang menggairahkan.
Kasus ini sudah seperti tutup lembaran pada buku namun tak ada koda dalam cerita panjangnya. Hal ini yang mungkin membuat beberapa rakyat Papua kurang percaya akan penegakkan HAM di negara yang kita agungkan ini. Jika setiap cerita memiliki alur resolusi, namun mengapa kisah pilu pelanggaran HAM sering tidak jelas penyelesaiannya, seperti kasus tentang Papua tersebut.
Salju yang katanya abadi di Puncak Jaya Wijaya, kini mulai mencair seiring pemanasan global dan aksi rasa yang juga memanas tentang sikap tidak menghargai. Papua agaknya menjadi sasaran yang sering mendapat cemooh pedas terkait lekuk fisik dari saudara se-negerinya sendiri. Entah karena apa, padahal kulit tidak menjamin mereka adalah orang yang buruk hatinya, wajah tidak menjamin bahwa mereka tidak rupawan tingkahnya, mata yang pasti berbinar tidak bisa berbohong untuk menatap bagaimana keadaan di sekitarnya. Jika memang es di Puncak Jaya Wijaya meleleh karena ketidakharmonisan ini, maka rakyat Indonesia harusnya malu karena selalu menggemborkan bahwa ini salah industri. Bukankah ini juga ulah manusia yang sudah keluar dari jalurnya untuk saling membantu dan menghargai sebagai makhluk sosial?
Kemudian, bagaimana tentang perumpamaan balon tadi? Balon itu terikat dalam pemerintahan, namun belum ada tangan yang mampu menggenggam antar balon lain agar terus dalam satu koordinasi. Kedamaian Papua melalui keadilan sepenuhnya tanpa ada syarat dan ketentuan adalah tanggung jawab kita semua, tidak hanya rakyat Papua yang berjuang dan pemerintah yang mengatur. Akan tetapi, semua elemen masyarakat diperlukan untuk menyambung kembali balon yang terlepas dari genggaman tangan Ibu Pertiwi. Harapannya, kita semua dapat kembali menjadi satu negara yang utuh tanpa penindasan, rasisme, dan penuh akan kedamaian. Gas Helium dalam lingkup pulau Papua juga dapat kembali stabil sesuai aturan Gas Mulia, jika kondisi sosial dan ekonominya distimulus untuk mereda dan istirahat dari konflik. Balon-balon itu dapat terbang bebas namun tetap dibatasi oleh hak balon lain tanpa saling menjatuhkan, seperti ujaran kebencian.
Balon yang biasanya terjual dalam acara hajatan, kini harusnya dirangkul dalam pelukan Nusantara. Boleh saja untuk dipamerkan dan dipertunjukkan dalam pasar malam, namun dengan memberikan perbaikan yang pantas untuk Papua. Apabila Jawa makmur karena sawah dan ladang, Sumatra sejahtera karena perkebunan karet, Kalimantan tenteram karena perkebunan sawit, Sulawesi sentosa karena rempah-rempah, Bali dan Nusa Tenggara rahayu sebab pariwisata, maka Papua harusnya bisa mendapatkan nilai dari Pancasila seutuhnya dari semua kekayaan alam di Papua.
Penulis: Faiz Dwi Prasetya
NKRI harga mati…!!!!!
Tarek sess semongkoo????????
Keren kak
Uh
kereeeeeeen
Bagussss
Beli balon itu dimana ya
keren bgt kak??
wahh ?