Apakah Sah Shalat Id di Rumah Saja?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Ramadan sudah usai. Lebaran, hari raya Idul Fitri yang biasanya ditunggu-tunggu oleh umat Muslim dimanapun dirayakan dengan sederhana.

Pandemi Covid 19 yang melanda hampir seluruh dunia termasuk Indonesia ini membuat perayaan lebaran dilakukan tidak semarak. Tak ada salam-salaman, saling berkunjung ke rumah saudara, sahabat maupun kerabat. Semuanya dilakukan di rumah, termasuk shalat sunat Idul Fitri yang biasanya dilakukan di lapangan terbuka.

Banyak orang bertanya-tanya, apakah sah kalau shalat sunat yang dilakukan selama setahun sekali ini cukup di rumah saja, tidak bersama-sama di lapangan atau masjid? Salat Idul Fitri idealnya dilaksanakan di masjid, mushala, atau lapangan yang dapat menampung banyak jamaah. Bagaimanapun juga, berkumpul dan salat Idul Fitri berjamaah merupakan salah satu syiar Islam.

Mengutip hadist, Nabi Muhammad SAW biasanya pergi dari masjid menuju tanah lapang saat akan mengerjakan Shalat Idul Fitri. Kebiasaan itu akhirnya diikuti para sahabat dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan untuk mengerjakan shalat sunat Idul Fitri.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat id. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnul Haj Al-Makki mengatakan, ”Sunnah yang berlaku sejak dulu terkait shalat id adalah dilaksanakan di lapangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Shalat di mesjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu kali shalat di selain mesjidku, kecuali Masjidil Haram.’ Meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan mesjid.” (Al-Madkhal: 2/438)

Nabi menganjurkan salat Idul fitri di tanah lapang karena saat itu jumlah kaum Muslim yang ingin ikut salat Id sangat banyak.

Nah, dengan tidak melakukan shalat di lapangan ataupun di masjid bersama-sama, bagaimana hukumnya shalat sunat Idul Fitri?

Pemerintah mengeluarkan imbauan larangan beribadah shalat Idul Fitri di lapangan maupun masjid berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi COVID-19.

MUI menegaskan fatwa yang dikeluarkan para ulama ini bukan melarang masyarakat untuk beribadah, tapi MUI berupaya untuk menjaga masyarakat agar terhindar dari penyebaran virus Covid 19.

Salah satu poin penting dalam fatwa tersebut adalah, kriteria kawasan yang memungkinkan salat Idulfitri digelar di masjid atau di rumah. Rinciannya adalah sebagai berikut.

Pertama, salat Idul Fitri boleh dilaksanakan dengan cara berjamaah di tanah lapang, masjid, mushala, atau tempat lain bagi umat Islam dengan ketentuan: Umat Islam berada di kawasan yang sudah terkendali pada saat 1 Syawal 1441 H, yang salah satunya ditandai dengan angka penularan virus Corona (Covid-19) menunjukkan kecenderungan menurun dan sudah adanya kebijakan pelonggaran aktivitas sosial yang memungkinkan terjadinya kerumunan berdasarkan ahli yang kredibel dan amanah.

Umat Islam berada di kawasan terkendali atau kawasan yang bebas Covid-19 dan diyakini tidak terdapat penularan (seperti di kawasan pedesaan atau perumahan terbatas yang homogen, tidak ada yang terkena Covid-19, dan tidak ada keluar masuk orang).

Kedua, salat Idul Fitri boleh dilaksanakan di rumah dengan berjamaah bersama anggota keluarga atau secara sendiri (munfarid), terutama yang berada di kawasan penyebaran Covid-19 yang belum terkendali. Terkait hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan sebaiknya salat Idulfitri di lapangan ditiadakan atau tidak dilaksanakan sama sekali.

Nah, sebenarnya, bagaimanakah hukum salat Idul Fitri di rumah dalam keadaan pandemi Covid-19? Salat Idul Fitri sendiri hukumnya sunah muakadah atau amat dianjurkan. Karena tidak termasuk ibadah wajib, tidak ada ancaman atau dosa bagi orang yang tidak melaksanakan salat Idul Fitri. Namun, salat ini amat sayang ditinggalkan karena momen Idul Fitri hanya terjadi setahun sekali saja.

Oleh sebab itu, dalam keadaan darurat karena pandemi ini, di kawasan terdampak sesuai kriteria yang dicantumkan MUI, salat Idul Fitri dianjurkan hanya dilaksanakan di rumah. Keadaan darurat karena penyebaran virus Corona, sebagaimana dilansir NU Online, melahirkan keringanan atau rukhsah karena ada keharusan untuk menjaga jarak (physical distancing) dan menjauhi kerumunan.

Anjuran mendirikan salat Idul Fitri di rumah ini sejalan dengan kemudahan ajaran Islam yang tidak membebankan mukallaf di luar kemampuannya.

Rujukannya adalah Surah At-Thalaq ayat 7, “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuan yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Anjuran salat Idul fitri di rumah masing-masing merupakan bentuk preventif atau sadduz-ẓari’ah sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 32, “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia.”

Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak ketika salat Idulfitri adalah satu upaya mengurangi rantai pandemi Covid-19. Maka, dengan salat Idul Fitri di rumah berarti menghindarkan orang banyak dari paparan virus corona yang membahayakan jiwa dan kesehatan.

Pengaturan shalat sunat Idul Fitri tidak hanya terjadi di masa sekarang saja. Saat masa penjajahan Belanda pelaksanaan Shalat Idul Fitri juga diatur sedemikian rupa dibawah pengawasan ketat pemerintah Kolonial Belanda. Mulai dari gerakan shalat dan ceramah khatib pun diawasi oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Demikian juga pada zaman penjajahan Jepang. Memang, Jepang membebaskan masyarakat Indonesia untuk melakukan Shalat Idul Fitri, tidak diawasi seperti saat penjajahan Belanda.

Namun, kebebasan itu ada batasnya. Yaitu batasan waktu. Saat itu, Shalat Idul Fitri harus digelar pagi buta, usai salat subuh, dengan waktu salat yang juga dibatasi. Kenapa?

Dikutip dari buku Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang 1940-1942, Jepang saat itu punya tradisi yang tidak boleh ditinggal sebelum matahari terbit, yakni Seikerei alias upacara menyembah Dewa Matahari dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit.

Penulis:

Nova Nurun Nadifah

Jurnalistik 2018, Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Bandung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sleman Siap Jadi Destinasi Favorit Libur Nataru, Target Kunjungan Naik Signifikan

Mata Indonesia, Sleman - Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Sleman menetapkan target kunjungan wisatawan mencapai 300-500 ribu selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025. Untuk mendukung pencapaian tersebut, puluhan acara telah dipersiapkan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini