MINEWS.ID, JAKARTA – Di awal Orde Baru, terpilih lah seorang muda bernama Ali Wardhana yang saat itu masih berumur 39 tahun, sebagai Menteri Keuangan. Namun di kemudian hari tidak salah jika dia dianugerahi gelar pahlawan penyelamat ekonomi Indonesia.
Bagaimana tidak? Jika Soeharto tidak menunjuknya sebagai Menteri Keuangan pada 1968 mungkin ekonomi Indonesia tidak bisa sampai pada posisi 16 besar dunia saat ini.
Sebab, saat Ali ditunjuk, ekonomi Indonesia memang berada di titik nadir karena mengalami hiperinflasi hingga 650 persen di awal pemerintahan Orde Baru.
Dengan kondisi seperti itu, lelaki kelahiran Solo 6 Mei 1928 tersebut sebenarnya menolak permintaan Soeharto. Namun dengan bujuk rayu yang tak kenal lelah dari The Smiling General tersebut, hati Ali akhirnya luluh.
Terbukti, Ali bisa memperbaiki ekonomi Indonesia yang semula mengalami hiperinflasi secara perlahan angkanya terus membaik. Jika pada 1966 hiperinflasi mencapai 650 persen, pada 1967 menjadi 112 persen dan saat Ali menjadi menteri turun lagi menjadi 85 persen.
Terus menukik tajam pada 1969 di angka 10 persen. Setelah itu ekonomi Indonesia mulai menggeliat sehingga 1 April 1969, pemerintah bisa membuat program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Maka banyak kalangan, terutama ekonomi yang tidak bisa membayangkan seandainya penolakan Ali Wardhana saat itu diterima Soeharto bisa jadi cerita Indonesia tidak seindah sekarang.
Selain menekan laju inflasi, Ali Wardhana juga berhasil mengelola penerimaan negara dari harga minyak dunia yang melonjak drastis. Dia mendorong uang minyak tersebut untuk mendorong pembangunan seperti membangun sekolah, fasilitas kesehatan, atau kegiatan produktif lainnya.
Selain menstabilkan ekonomi, banyak program lain usulan Ali yang semakin membuat ekonomi Indonesia menjadi menarik untuk investasi.
Ali tidak bekerja sendirian banyak koleganya seperti Emil Salim, Radius Prawiro, J.B Soemarlin, Dorodjatun Koentjoro-Jakti sama-sama berhasil menyelematkan ekonomi Indonesia dari hantu tekanan hiperinflasi. Mereka sering disebut Mafia Berkeley karena berkuliah di University California at Berkeley mulai 1960 -an atas bantuan Ford Foundation.
Tidak hanya itu, mantan Dekan FE Universitas Indonesia tersebut juga berhasil meredam banyak kecurangan di Bea dan Cukai serta memecat beberapa pejabatnya. Bahkan memperkenalkan asas pemungutan pajak self assessment pada sistem perpajakan yang baru sehingga perolehan pajak langsung mencapai tingkat 100 persen.
Keberhasilannya dalam menjaga stabilitas keuangan negara pada era itu, menjadikan Ali layak dihormati sebagai pahlawan.
Maka tak heran saat wafat di usia 87 tahun, 14 September 2015, pemerintah menghormatinya dengan menggelar upacara militer layaknya orang yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Padahal saat itu jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir.(Yuri Giantini)