Mata Indonesia, Jakarta – Ciri iklan di tahun 70an, selalu dikaitkan dengan branding nama perusahaan. Seumpama perusahan mobil mempromosikan produksi barunya, iklannya tidak berhenti pada produk tadi, tapi berlanjut pada branding bahwa produk ini dikeluarkan oleh produsen mobil terpercaya.
Secara tidak langsung, Branding sebagai perusahaan terpercaya inilah yang sepertinya disasar ke publik. Sehingga di kemudian hari, jika mengeluarkan produk baru, image masyarakat lebih mudah di arahkan.
Tak hanya jenis produk tertentu yang begitu. Hampir semua perusahaan membangun framing sejenis. Begitulah keseriusan mereka membangun citra diri. Sampai-sampai pencitraan atas negara asal produk ikut terkait.
Sehingga pada zamannya dulu, apa–apa produk teknologi yang berasal dari Jerman, umpamanya, secara otomatis dipahami sebagai produk kelas satu. Seperti juga sebaliknya, di masa itu, siapa mau percaya pada produk buatan Cina.
Di kemudian hari pola ini memang berubah. Itu terjadi seiring dengan lebih populernya jenis dan merek produk ketimbang brand produsennya. Sehingga yang terjadi, merek bisa begitu identik dengan produk. Dan berlangsung sampai sekarang. Odol, misalnya, ia sesungguhnya merek, tapi sampai hari ini begitu lekat dengan pasta gigi.
Tapi apapun dimensinya, identifikasi positif dari masyarakat, tak bisa dipisahkan dari kesuksesan sebuah perusahaan membangun kepeloporan dan kepercayaan. Dan inilah yang sebenarnya merupakan taruhan lahir batin di tengah masyarakat.
Semenjak zaman Aristotelian di Yunani tua, “kepercayaan” sudah dipercaya sebagai kekuatan besar yang tak nampak – silent power. Tanpa kepercayaan, jangan coba-coba bertarung di gelanggang pikiran masyarakat. Bahkan kaum Aristotelian haqul yakin kalau hanya orang terpercayalah yang sanggup mempengaruhi atau bahkan mengubah pikiran orang. Aristoteles mendefinisikan kepercayaan ini sebagai Etos.
Kepercayaan, pada hakekatnya merupakan identitas yang secara lahir batin bisa melekat pada subyek apa saja. Begitu dipercaya, orang hanya tinggal menyelesai 40 persen sisa pekerjaaannya.
Pun, tentu sebaliknya. Orang yang tidak dipercaya, jangan pernah bercita-cita untuk melakukan perubahan. Hatta pada sektor kecil, sekalipun. Karena kepercayaan sesungguhnya soal hakekat. Bukan label tempelan. Jadi keberadaannya tidak bisa dipaksa paksakan.
Hari ini, hanya kepercayaan yang bisa membuat orang setegar karang. Sekokoh mercu suar.
Mari jadi orang yang bisa dipercaya!
(Moch Fadhilllah H. Wiraswasta)