Rahasia Seni Kolaborasi Film ala Mira Lesmana-Riri Riza

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Semua pasti tahu bahwa duet kreatif Mira Lesmana dan Riri Riza sulit dipisahkan dari Miles Films. Tahun 2019 pun menjadi sangat istimewa karena menandai kolaborasi 20 tahun mereka berkarya bersama.

Kisah puluhan tahun itu diceritakan keduanya di hari pertama gelaran Playfest 2019. Mereka berbagi kisah tentang proses produksi yang mereka jalani melalui sesi Talks bertajuk Pitch to Premiere di area Experience Ideas.

”Bikin film itu seni kolaborasi. Semua orang berkontribusi,” ujar Riri Riza di Jakarta, Sabtu 24 Agustus 2019.

Pun ia mengingatkan bahwa memproduksi film butuh campur tangan banyak pihak. Mulai dari penulis skenario, makeup artist, stylist, cameraman, juga cast (para aktor dan aktris) yang semuanya harus berkolaborasi.

Asal tahu saja, Miles Films berdiri sejak tahun 1995, namun hanya memproduksi film-film underground karena film Indonesia pada masa itu bisa dikatakan mati suri. Baru pada tahun 2000 akhirnya Mira dan Riri memproduksi Petualangan Sherina untuk membangkitkan kembali perfilman Indonesia.

”Perempuan masih menjadi pilihan kedua untuk tokoh utama film pada waktu itu. Saya pikir, kenapa enggak sekalian bikin film tentang anak perempuan, bandel lagi. Maka lahirlah Petualangan Sherina.”

Setelah kesuksesan Petualangan Sherina, Miles Films memproduksi Ada Apa Dengan Cinta. Meski film demi film mengalami kesuksesan, Mira tidak ingin Miles Films memiliki target produksi seperti pabrik.

Hanya satu film diproduksi setiap tahun agar fokus. ”Di Miles, karena kita sudah bekerja bersama sekian lama, kita memiliki treatment yang selalu sama. Dimulai dari ide, kemudian menjadi skenario, lalu persiapan, biasanya kita pikirkan dengan matang bersama-sama,” kata Mira.

”Well prepared script itu penting,” ujar Riri.

Keduanya pun memberi contoh film terbaru Miles Films, Bebas, yang akan tayang di bioskop sejak 3 Oktober 2019. Film itu diadaptasi dari film Korea berjudul Sunny. Struktur film tersebut menurut Mira sangat bagus tetapi ia ingin agar film Bebas lebih Indonesia sehingga sebagai penulis skenario, Mira melakukan riset pop culture di Indonesia tahun 90-an.

”Setting tempatnya kita pilih Jakarta, pada akhirnya kita jadi tahu sudut-sudut di Jakarta yang masih 90-an. Setting waktunya tahun 1995, 1996 dan 2019. Ada jarak yang sangat jauh. Generasi 90-an itu gaya bahasanya sangat khas, ekspresif. Tahun 90-an juga masa-masa musik pop Indonesia sedang bangkit. Di samping itu juga dekat dengan momen peristiwa 1998. Hal-hal utama itu harus masuk ke dalam skenario,” kata Mira.

Meski skenario telah matang, film menurut Riri kadang memiliki keajaibannya sendiri. Pada saat proses syuting dan editing bisa terjadi berbagai perubahan sudut pandang.

”Sebagai sutradara, saya selalu menggunakan pendekatan real. Bagaimana misalnya aktor atau aktris yang di-makeup itu tidak kelihatan makeup-nya. Setiap peristiwa ada sudut pandangnya. Saya selalu ingin membuat film dari sudut pandang karakter-karakter di dalam film. Dan pada saat proses syuting dan editing, sudut pandang itu bisa berubah mengikuti cerita.”

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini