Kisah Salman Rushdie Atheis yang Hidupnya Penuh Ancaman

Baca Juga

MATA INDONESIA, NEW YORK – Pagi itu, Salman Rushdie berangkat dari hotel tempatnya menginap ke Institut Chautauqua, New York. Lokasinya lumayan jauh dari hotel ia menginap. Institut ini adalah resor musim panas untuk orang dewasa dan remaja yang terletak di 2.070 hektar di Chautauqua, New York, 17 mil barat laut Jamestown di bagian barat daya New York.

Penulis Ayat-ayat Setan ini mendapat jadwal untuk kuliah umum di depan mahasiswa dan dosen.  Ia naik ke panggung setelah pendiri Institut Chautauqua Henry Reese memangilnya dan kemudian memperkenalkannya kepada hadirin.

Tiba-tiba saja, seorang pria naik ke panggung. Memukul atau menusuk Rushdie 10 hingga 15 kali. Penulis berusia 75 tahun itu sedang diperkenalkan pembawa acara. Salman Rushdie kemudian terjatuh di panggung.

Nama Ahmed Salman Rushdie hingga saat ini masih menjadi incaran umat Muslim yang marah dan kecewa dengan novel Ayat-ayat Setan yang menghina Nabi Muhammad SAW. Hidup Rushdie sejak novel ini terbit penuh ketakutan karena ancaman pembunuhan. Biografinya yang terbit pada 2012 Joseph Anton: A Memoir—autobiografi tentang kehidupannya yang sembunyi-sembunyi, menceritakan bagaimana ia depresi dengan kehidupannya.

Keluarga Muslim

Lahir di Mumbai India 19 Juni 1947, Rushdie berasal dari keluarga muslim asal Kashmir. Ayah Rushdie pengacara dan pebisnis. Tak heran Rushdie bisa mendapatkan pendidikan yang bagus.

Usai menamatkan sekolah menengah atas, ia melanjutkan belajar ilmu sejarah di King’s College, Cambridge, Inggris. Ia belajar dan memperdalam sejarah yang kemudian memengaruhi karya-karya fiksinya setelah lulus.

Lulus kuliah ia memilih menjadi penulis. Nama Salman Rushdie mulai terkenal setelah terbit novel keduanya, Midnight’s Children (1981). Ia masuk ke jajaran penulis kenamaan dunia karena mendapat penghargaan Booker Prize. Pada 1993 dan 2008 novel tersebut juga mendapat penghargaan Best of the Bookers, bersamaan dengan perayaan Booker Prize ke-25 dan ke-40. Karya fiksi Rushdie rata-rata berlatar belakang kawasan India dan Pakistan dengan elemen-elemen fiksi sejarah. Inilah yang menimbulkan kontroversi. Novel ketiganya Shame (1983), menggambarkan kekacauan politik di Pakistan dengan karakter utama tokohnya kepada Zulfikar Ali Bhutto dan Jenderal Muhammad Zia ul-Haq.

Di novel Midnight’s Children, Rushdie pun sebenarnya membuat PM India Indira Gandhi marah. Hal ini karena karakter Indira Gandhi di novel tersebut yang menjadi tertuduh utama kematian suaminya.

Kehidupan Rushdie pun berakhir setelah ia menerbitkan novel keempatnya, The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), pada September 1988.

Kontroversi novel ini karena karakter di cerita ini adalah Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril. Rushdie memilih nama karakter Mahound, yang hampir terdengar seperti “Muhammad”.

Sejarah mencatat “Mahound” adalah nama panggilan alternatif yang melecehkan orang Kristen pada Abad Pertengahan kepada Nabi Muhammad SAW. Novel itu segera memancing reaksi kemarahan dari komunitas Muslim di berbagai negara.

Sejak itulah hidup Rushdie pun tak tentram. Pemerintah India melarang peredaran buku ini. Menyusul, Bangladesh, Sudan, Sri Lanka, kawasan Timur Tengah hingga ke Indonesia.

Demonstrasi anti-Rushdie merebak. Beberapa ada yang berakhir ricuh dan menimbulkan rusaknya fasilitas umum. Muncul insiden penyerangan terhadap orang-orang yang menerjemahkan buku, juga ke rumah-rumah penerbit.

Kondisi ini memaksa Rushdie bersembunyi dan mendapat perlindungan dari pemerintahan Inggris. Kehidupannya berubah drastis. Ia mendapat pengawalan khusus tiap kali berada di luar rumah. Rushdie pun lebih banyak menyamar dan menggunakan nama samaran.

Puncak ketakutan Salman Rushdie saat Pemimpin Iran Ayatullah Khomeini memfatwa mati Rushdie pada 14 Februari 1989. Sejak saat itu terkumpul uang dalam jumlah besar bagi siapa saja yang bisa mengeksekusi Rushdie.

Rushdie selalu menyangkal segala tuduhan telah menistakan Islam atau Nabi Muhammad SAW. Melalui beberapa wawancara, termasuk dalam autobiografi singkat yang Rushdie tulis untuk New Yorker, ia hanya menyayangkan kemunculan pendapat bahwa Islam tidak bisa dikritik. Ia tidak pernah menyesal telah menulis The Satanic Verses. Ia bahkan berharap dulu bisa menulis buku yang lebih kritis.

Para penentang Rushdie tetap menuntut mati novelis yang mengaku atheis garis keras ini. Malah pada Maret 2013, Al-Qaeda menerbitkan most-wanted list berisi nama orang-orang yang telah menistakan Islam. Nama Rushdie tercantum di dalamnya.

Ancaman paling nyata kepada Rushdie terjadi pada 3 Agustus 1989 dari seorang pria bernama Mustafa Mahmod Mazeh.

Mazeh bersenjatakan buku yang di dalamnya mengandung bahan peledak jenis RDX. Ia menginap di sebuah hotel di Paddington, London. Namun, bom meledak sebelum sempat dibawa ke dekat kediaman Rushdie. Ledakan bom menghancurkan dua lantai hotel sekaligus membunuh Mazeh sendiri.

Jumlah uang hadiah untuk membunuh Rushdie pun semakin besar. Setelah Iran mengumumkan akan memberikan uang 1 juta dolar, kemudian tahun 2020 bertambah lagi menjadi 3 juta dolar.

Meski hidup dalam ketakutan, proses kreatif Rushdie tetap berjalan. Ia produktir menulis novel-novel yang menarik perhatian kritikus maupun pembaca. Ia menerbitkan kumpulan cerpen, menulis esai di berbagai media kenamaan, hingga menjajaki dunia kepenulisan non-fiksi.

Majalah Times menempatkannya ke dalam daftar 50 penulis Inggris terbaik sejak 1945. Pada bulan Juni 2007 Ratu Elizabeth II memberinya gelar kebangsawanan karena jasanya dalam bidang literatur. Sejak tahun 2000 Rushdie tinggal di Atalanta Amerika Serikat. Ia mengajar di Emory University sambil sesekali membagikan pemikiran serta pengalamannya di berbagai forum diskusi buku.

BBC/Reporter: Ayla 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkomitmen Mewujudkan IKN Sebagai Kota Ramah Lingkungan

Oleh: Dewi Ambara* Indonesia kini memasuki era baru dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dipimpin oleh Presiden...
- Advertisement -

Baca berita yang ini