Ancaman Bencana Ekologi dan Krisis Pengetahuan Lingkungan di NTT, Sebuah Refleksi Hardiknas 2022

Baca Juga

MATA INDONESIA, KUPANG – Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara salah satu tokoh pemrakarsa pendidikan bagi para pribumi ketika masa penjajahan Belanda. Sejak dulu bangsa kita sudah menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting dan dibutuhkan sebagai jalan untuk mencerdaskan bangsa. Namun pada realita yang ada Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) hanya sekedar diperingati dan diramaikan dengan ucapan di media sosial dan atau lewat upacara tanpa melakukan perenungan dan evaluasi mengenai keberlangsungan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Dan yang terjadi adalah pendidikan kehilangan esensi dengan hanya sekedar belajar dan menghafal mata pelajaran di kelas dan bagaimana cara mendapatkan nilai yang bagus tanpa mengetahaui bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kehidupan dan lingkungan sehari-hari yang bercumbu dengan alam dan akan merasakan dampak dari setiap perubahan yang terjadi di bumi.

Sampai sini, mengapa pendidikan perlu dikaitkan dengan lingkungan?

Esensinya pendidikan dan lingkungan pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Memajukan pendidikan haruslah sejalan dengan mengutamakan keberadaan lingkungan alam dan bumi. Bukan menjauhkan manusia sang homo sapiens itu dari alam tempat ia berpijak. Hal ini karena, dunia secara global saat ini sedang menghadapi suatu krisis akibat ulah manusia yang berpendidikan itu. Krisis ini disebut sebagai krisis iklim. Krisis ini ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang tidak menentu yang bermuara pada bencana kekeringan hingga banjir. Selain menyebabkan perubahan iklim, naiknya suhu permukaan bumi juga mengakibatkan naiknya permukaan air laut yang berpotensi besar untuk menenggelamkan pulau-pulau kecil. Senada dengan itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, 98 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan bergantian mengikuti cuaca ekstrem yang terjadi. BNPB juga menyatakan bahwa Indonesia sudah berada dalam situasi darurat ekologis. Bencana yang melanda Indonesia menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif.

Nusa Tenggara Timur sebagai Provinsi yang memiliki jumlah pulau sebanyak 1,200 pulau dengan lebih dari 1,100 pulau kecil memiliki potensi besar menerima dampak perubahan iklim ini. Selain itu sektor matapencaharian masyarakatnya yang berpusat pada bertani dan nelayan akan merasakan akibat besar dari perubahan iklim ini. Tepat satu tahun yang lalu, di awal bulan April Provinsi ini gempar dengan kedatangan Siklon Tropis Seroja yang meluluh lantahkan telak 16 Kabupaten dari 22 Kabupaten/Kota yang ada dengan tingkat kerusakan yang cukup parah. Dikutip dari data Posko informasi bencana geometeorologi Walhi NTT (10 April 2021) terdapat 118 jiwa meninggal dunia, 53 orang hilang, 47 orang luka-luka, 10.604 orang mengungsi dan ribuan rumah, bangunan, infrastruktur daerah hancur lebur.

Apakah ini sesuatu keajaiban? Dan perlu diberikan reward?

Bureau of Meteorology Australia mencatat secara lengkap bahwa Nusa Tenggara Timur mempunyai potensi besar merasakan siklon tropis akibat perubahan iklim ini, namun sebagian besar orang-orang masih berpikir bahwa ini bencana alam biasa bukan bencana ekologis. Padahal sebaliknya, hal ini terjadi akibat keseimbangan ekosistem lingkungan dan pola hidup masyarakat yang terganggu sehingga alam berperang untuk mengembalikan keseimbangan dan keselarasannya. Pola hidup masyarakat yang sangat konsumtif merupakan satu faktor penyebab krisis iklim. Contoh-contoh perilaku konsumtif tersebut antara lain; pemborosan penggunaan energi, penggunaan plastik yang akhirnya menjadi sampah di permukaan laut, pembakaran dan penebangan hutan, pembuangan sisa-sisa makanan yang memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer ataupun pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan).

Pola hidup yang konsumtif ini juga didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga bermuara pada dampak bencana yang lebih parah. Sampai sini, masihkah ada yang berpangku tangan? Sayangnya masih banyak yang berpangku tangan dan merasa biasa-biasa saja. Hal ini jika terus dibiarkan, maka berbagai bencana alam akan rutin terjadi dan terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Apakah ini yang diinginkan? Lantas apa yang perlu diperbuat?

Untuk dapat mengurangi dampak perubahan iklim dibutuhkan pendekatan lintas sektoral baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Dalam menghadapi perubahan iklim, peningkatan ketahanan sistem dalam masyarakat untuk mengurangi risiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya mengembangan strategi adaptasi dan mitigasi. Strategi adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Meskipun demikian, upaya tersebut sulit memberi manfaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, strategi adaptasi harus diimbangi dengan “strategi mitigasi”, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca, agar proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.

Selain itu, pendidikan juga berperan dalam pelestarian lingkungan yaitu dengan membangun pengetahuan dan pemahaman seseorang dalam mencintai dan merawat lingkungan yang merupakan sumber kehidupan dan dapat bertangung jawab. Dengan memberikan pendidikan lingkungan yang memperkuat pengetahuan generasi penerus akan dampak dari perubahan iklim dan bagaimana cara untuk mengaitkan sistem pembelajaran dengan isu lingkungan yang lebih kreatif sehingga dapat menerpa pola pikir generasi penerus yang lebih kritis dan tanggap terhadap perubahan iklim. Namun sayangnya hal ini masih belum diterapkan, dan Indonesia sendiri menjadi negara pertama yang masyarakatnya tidak percaya akan perubahan iklim berdasarkan hasil survey riset dan analisis YouGov-Cambridge Globalism Project pada tahun 2019 dengan melibatkan 25.000 partisipan dari beberapa negara di Eropa, Asia, Afrika dan juga Amerika terkait pandangan masyarakat tentang perubahan iklim disusul oleh Arab Saudi dan diposisi ketiga ada Amerika Serikat. fakta-fakta ini menunjukan bahwa terkait krisis iklim tersebut masih sangat minim diajarkan di sekolah. Sekolah formal masih jauh dari penerapan ilmu pengetahuan yang kontekstual, yang berkaitan dengan masalah disekitar siswa seperti yang disebutkan sebelumnya. Sehingga akibat dari perubahan iklim masih berada jauh dari dibalik pagar sekolah. Padahal jika dilihat lebih dekat, mata-mata pelajaran yang mengandung muatan sains, olahraga dan muatan lokal dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran kritis siswa terhadap krisis iklim. Akan tetapi, pelajaran-pelajaran ini sering dianggap membosankan oleh siswa karena pada penerapannya konsep-konsep yang diajarkan masih abstrak dan sepertinya masih jauh dari siswa. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya keterampilan guru mengaitkan isu lingkungan dalam menyusun sebuah model pembelajaran yang lebih kontekstual, menarik dan relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya bagaimana kita mengajarkan bentuk bangun datar trapesium kepada anak-anak pesisir dengan mengamati perahu yang mereka punya, atau bagaimana cara membaca arah angin, pasang naik dan pasang turun air laut, tinggi gelombang, hingga memancing, memakan sirih pinang yang ada kaitannya dengan penerapan konsep asam basa dan lain-lain yang berhubungan langsung dengan mereka yang menjadi kebiasaan atau budaya mereka, sehingga sekolah tidak hanya berpatokan pada ruangan 3×4 cm dengan satu pintu dan semua hal-hal baru didalamnya yang berpatokan pada kurikulum yang mengikat melainkan juga tentang hal-hal kecil yang tidak ada dalam kurikulum namun ada kaitanya dengan pendidikan yang diterima dengan tetap mempertahankan keseimbangan alam dan budaya mereka. Kedepan keterbatasan dalam dunia pendidikan ini bisa didobrak dan terus didorong dengan pemberian pelatihan bagi para pendidik dan membuka ruang bagi pendidikan alternatif yang sejalan dalam mengaitkan isu lingkungan dalam setiap pembelajaran yang ada selain memperhatikan mutu dan kualitas pendidikan itu sendiri. Sehingga kaum generasi penerus bangsa bisa lebih kritis dan dapat bertanggungjawab atas apa yang diperbuat dan menjadi agent of change dalam lingkungannya, memahami bahwa alam dan bumi tempat ia berada adalah satu-satunya ibu dan rumah bagi manusia. Bumi kita cuman satu mari kita jaga dengan baik dengan apa yang kita dapatkan melalui pendidikan sebagai senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia (Nelson Mandela).

Penulis: Horiana Yolanda Haki (Pengkampanye Perlindungan SDA WALHI NTT)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Di Era Pemerintahan Presiden Prabowo, Korban Judol Diberikan Perawatan Intensif di RSCM

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat mengumumankan adanya inisiatif baru dalam upaya menangani dampak sosial dan psikologis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini