MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia mengembangkan biodiesel sebagai upaya peralihan dari sumber energi fosil ke energi baru dan terbarukan, sekaligus untuk mengurangi emisi.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), persentase Energi Baru Terbarukan (EBT) Tanah Air mencapai 11 persen dari total bauran energi primer dan biodiesel menyumbang 35 persen dari total EBT tersebut.
Minyak sawit (crude palm oil/CPO) dipilih sebagai bahan baku biodiesel karena produksinya yang besar di Tanah Air. Namun, penggunaan CPO sebagai bahan baku tunggal biodiesel justru berisiko terhadap lingkungan. Minyak goreng bekas atau Used Cooking Oil (UCO) dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan tersebut, sekaligus menjadikan biodiesel semakin berkelanjutan dan rendah emisi.
Research Manager Traction Energy Asia Fariz Panghegar menyebutkan, ketika CPO menjadi bahan baku utama biodiesel, justru akan mengakibatkan timbulan emisi yang tinggi.
Bahkan, penggunaannya dapat melampaui emisi dari solar konvensional. Hal ini diakibatkan oleh perluasan perkebunan sawit ke hutan dan lahan gambut, serta limbah dari sistem produksi yang tidak berkelanjutan. Untuk tetap memenuhi kebutuhan biodiesel, UCO sebagai limbah cair dari kegiatan memasak dapat menjadi bahan baku komplementer.
Traction Energy Asia memperlihatkan dua skenario dan hasilnya. Pertama, biodiesel dengan campuran CPO dan UCO dapat menurunkan emisi 8 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika persentase biodiesel UCO ditambahkan sebanyak 10-30 persen dalam produksi B30 saat ini.
Kedua, biodiesel yang terdiri dari masing-masing B30 dari CPO dan B30 dari UCO mampu menurunkan emisi 2,4 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika menambahkan 10 sampai 100 persen bahan baku biodiesel UCO dalam produksi B30.
“Jadi, terkait capaian kebijakan BBN nasional, angka penurunan emisi GRK di sektor energi dapat meningkat dengan menambahkan produk berbahan bakar berbasis UCO,” katanya.
Terdapat sejumlah manfaat penggunaan UCO sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Selain dapat menghemat anggaran pengadaan BBN nasional mencapai Rp 4 triliun, pemanfaatan UCO juga merupakan kegiatan ekonomi sirkular. Kegiatan ini dapat memberikan penghasilan tambahan bagi unit rumah tangga dan usaha penghasil UCO.
“Potensi ketersediaan rumah tangga dan unit bisnis skala mikro mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun. Kami asumsikan, ini dapat menghasilkan 954.751 kilo liter UCO sebagai bahan baku pengganti biodiesel,” ujarnya.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM saat ini mengembangkan BBN berkelanjutan dengan menerapkan Indonesian Bioenergy Sustainability Indicators (IBSI). Di dalamnya terdapat sejumlah indikator terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan bahwa pengaturan insentif untuk biodiesel berbasis UCO memang perlu disempurnakan. Ke depannya perlu ada sinergi penta-helix dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan pusat, pelaku usaha, badan penelitian dan pengembangan, media, hingga masyarakat. Ia juga menyebutkan terdapat sejumlah regulasi yang perlu disiapkan oleh pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat perlu menyiapkan beberapa regulasi terkait kebijakan pemanfaatan UCO untuk biodiesel seperti tata niaga, standar, registrasi, serta setifikasi produsen biodiesel dan insentifnya,” katanya.