Pengamat: BPJS Kesehatan Harus Tingkatkan Sosialisasi untuk Perangi Fraud

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – BPJS Kesehatan memprediksi potensi defisit keuangan perusahaan sampai akhir tahun ini bisa mencapai 28 triliun rupiah.

Munculnya angka tersebut berasal dari defisit tahun ini yang diproyeksi 19 triliun rupiah dan utang tahun lalu 9,1 triliun rupiah. Namun, angka tersebut kemungkinan masih bisa bertambah.

Lantas, apa yang harus dilakukan BPJS Kesehatan dalam masalah tersebut? Adakah langkah yang tepat?

Menjawab itu, peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan tentu indikasi fraud tetap akan ada. Namun dengan beragam aturan hukum yang dijalankan oleh BPJS, indikasi fraud ini diduga nilainya relatif kecil.

Sebenarnya faktor lain yang menyebabkan defisit BPJS kesehatan begitu besar ialah banyak peserta BPJS kesehatan yang tidak tertib dalam membayar iuran BPJS.

“Artinya beberapa kelompok masyarakat ini hanya membayar iuran BPJS seperlunya atau ketika sakit saja. Padahal sistem kerja BPJS perlu didukung oleh ketertiban pembayar oleh para pesertanya,” kata Yusuf kepada Mata Indonesia News, Rabu 31 Juli 2019.

Ia menganjurkan agar mekanisme pengawasan dan sosialisasi BPJS perlu ditingkatkan. Misalnya, rumah sakit yang terindikasi melakukan fraud, selain diputus kontrak kerja samanya, juga perlu didenda. Di samping itu mekanisme apresiasi juga perlu diberikan kepada rumah sakit maupun dokter yang mengikuti aturan main BPJS.

“Sosialisasi juga perlu ditingkatkan, termasuk cara kerja BPJS agar masyarakat luas paham dan dapat lebih tertib membayar iuran BPJS,” ujar Yusuf.

Selain menaikan premi, kata Yusuf, dalam jangka panjang pemerintah juga bisa meningkatkan anggaran kesehatan. Alasannya karena saat ini rasio anggaran kesehatan Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 3,1 persen. Jumlahnya masih di bawah Malaysia yang mencapai 3,8 persen dan Thailand mencapai 3,7 persen. (Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Pencegahan TPPO di Jogja Diperkuat, Gugus Tugas Dibentuk Kurangi Kasus

Mata Indonesia, Yogyakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi perhatian serius di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Korban TPPO seringkali berasal dari kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang terjerat dalam kasus perdagangan manusia akibat berbagai faktor risiko.
- Advertisement -

Baca berita yang ini