MATA INDONESIA, JAYAPURA – Pakar Hubungan Luar Negeri Provinsi Papua Marinus Yaung membongkar peran Australia dalam mengacak-ngacak Bumi Cenderawasih. Ia mengungkapkan bahwa terkait persoalan di Papua, Australia menerapkan politik standar ganda. Di mana, pada satu sisi menghormati Lombok Treaty dengan Indonesia. Tetapi sisi lain, membiarkan kota-kota besarnya menjadi basis kampanye politik Papua merdeka.
“Australia bermain politik standar ganda dalam isu Papua, karena Australia berkepentingan menjaga kepentingan Inggris di LNG Tangguh Bintuni, dan kepentingan Amerika Serikat di Freeport Mimika, Papua,” katanya, dikutip Kamis 2 Desember 2021.
Ia melanjutkan bahwa saat terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang Papua yang membawa isu Papua merdeka, pihak Australia, Inggris, dan Amerika Serikat malah asyik berdansa menguras habis isi perut bumi Papua.
“Saya khawatir, karena rendahnya literasi masyarakat Papua, isu Papua merdeka dan isu Bintang Kejora malah merampas masa depan Papua. Isu Bintang Kejora dan Papua merdeka hanya kamuflase dan manipulasi,” ujarnya.
Akademisi dari Univesitas Cenderawasih ini juga menjelaskan bahwa isu-isu itu sengaja terus dimainkan agar bisa mengeruk limpahan harta dari Bumi Cenderawasih, termasuk loby Benny Wenda, United Libertion Movemant off West Papua (ULMWP) di luar negeri.
“Isu Papua, Benny Wenda, ULMWP, hanya bagian dari geostrategis negara-negara super power di kawasan Pasifik dan Afrika, untuk mewujudkan kepentingan mereka di Indonesia,” katanya.
Ia pun menegaskan bahwa Papua masih akan bersama Indonesia untuk 20 tahun ke depan. UU Otsus Papua, kontrak politik, dan kontrak bernegera orang Papua dengan Indonesia sah dan kuat legal standingnya di mata hukum.
Sementara atas aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora di depan GOR Cenderawasih, Marinus menyebut jika Papua adalah Tanah Merah Putih bukan Bintang Kejora dan final sejak 19 November 1969.
“Tanah Papua sudah sah dan final di mata hukum internasional. Kalau Bintang Kejora mau dipaksakan mengganti Merah Putih, maka tindakan tersebut dianggap melanggar hukum internasional dan piagam PBB,” ujarnya.