MATA INDONESIA, TOKYO – Sering disebut sebagai salah satu musikus paling menonjol untuk New-Age Music di Asia, Kitaro adalah pemusik sekaligus komposer asal Jepang yang sangat sederhana.
Pemusik berusia 68 tahun bernama asli Masanori Takahashi ini adalah anak dari seorang petani Shinto, yang lahir pada 4 Februari 1953 di Toyohashi, Prefektur Aichi, Jepang.
Mengenai nama “Kitaro”, nama tersebut sebenarnya adalah nama pemberian teman-temannya sewaktu ia masih bersekolah. Namanya berasal dari tokoh film kartun Jepang, “Kitaro”.
Kitaro tumbuh menjadi anak yang menyukai musik. Ia menyukai musik Rhythm & Blues (R&B) dan musik Soul saat ia masih SMU. Kitaro mengidolakan pemusik R&B Amerika, Otis Redding. ”Rhythm and blues mempunyai suatu kedalaman, emosi, bagaimana harus saya katakan? Penonton merasakan emosi yang sama dari musik saya. Musik saya bukan rhythm and blues, tetapi terasa seperti soul.”
Kalimat itu jadi gambaran bagaimana Kitaro tergila-gila dengan musik R&B.
Di masa-masa SMU itulah Kitaro mulai belajar bermain gitar listrik bersama grup bandnya yang bernama “Albatross” untuk mengisi pentas di klub-klub. Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, karena di tahun 1970-an ia berputar haluan bermain keyboard dan bergabung dengan Far East Family Band, yang kerap kali melakukan kunjungan dunia hingga ke Eropa.
Dari sanalah Kitaro bertemu dengan Klaus Schulze, seorang pemusik synthesizer Jerman dan salah satu pendiri Tangerine Dream. Kitaro diajarkan oleh Schulze mengenai cara menggunakan synthesizer.
Kemudian di tahun 1976, ia memutuskan untuk keluar dari band tersebut dan berkeliling ke berbagai negara Asia seperti, Thailand, Laos, Cina, dan India. Alasannya keluar dari kelompok bandnya karena ia berencana memulai karier solo.
Barulah di tahun berikutnya, ia mantap menjalani karier solonya dengan memproduksi dua album pertama yang berjudul “Ten Kai” dan “From the Full Moon Story”. Kedua album tersebut nyatanya mampu menjadi album favorit para penggemar dari gerakan Zaman Baru yang baru saja lahir. Meski begitu, musiknya yang menjadi perhatian dunia internasional adalah musik berjudul “Silk Road”. Musik ini menjadi soundtrack seri film NHK.
Sukses dengan karier solonya, di tahun 1986 Kitaro melakukan perjanjian distribusi di seluruh dunia dengan Geffen Records. Di tahun berikutnya ia juga bekerja sama dengan berbagai pemusik, seperti Jon Anderson (Yes) dan Micky Hart (Grateful Dead). Kerja sama tersebut menghasilkan sebuah rekaman dengan penjualan fantastis, yang mencapai 10 juta kopi di seluruh dunia.
Kitaro adalah seorang bintang, tetapi ia sangat sederhana. “Alam mengilhami saya. Saya hanyalah seorang utusan,” katanya. “Bagi saya, sebagian lagu bagaikan awan-awan, sebagian lagi bagaikan air.”
Sejak 1983 penghargaannya akan alam membuat Kitaro setiap tahun mengucap syukur kepada Ibu Pertiwi dalam sebuah “konser” khusus di Gunung Fuji atau di dekat rumahnya di Colorado. Pada saat bulan purnama di bulan Agustus, ia memukul drum Taiko dari senja hingga fajar. Seringkali tangannya berdarah-darah, namun ia terus memukul.
Kitaro dan musik iringannya untuk film “Heaven & Earth” dinominasikan dua kali oleh Grammy dan mendapat penghargaan sebagai karya musik orisinal terbaik di tahun 1994. Sementara Album “Thinking of You” miliknya berhasil meraih kesuksesan besar di Grammy 2001.
Mengenai kehidupan pribadinya, ia sempat menikah dengan Yuki Taoka, istri pertamanya, di Jepang. Mereka punya seorang putra bernama Ryunosuke. Yuki adalah anak perempuan Kazuo Taoka, godfather dari Yamaguchi-gumi, sindikat Yakuza terbesar. Hal inilah yang membuat Kitaro lebih banyak memilih bekerja di Amerika Serikat dan meninggalkan Yuki dan anaknya.
Kitaro memutuskan untuk menikah lagi dengan Keiko Matsubara, pemusik yang bermain pada beberapa albumnya di tahun 1990-an. Lagi, Kitaro mendapatkan seorang putra. Sekarang, mereka tinggal di Ward, pinggiran Boulder, Colorado, Amerika Serikat.
Kitaro pernah bekerja dengan Virtuoso Marty Friedman, gitaris yang dulunya menjadi anggota Megadeth. Tak hanya itu, Kitaro juga pernah tampil di “Konser 20 Tahun Kitaro” yang disiarkan oleh TV Indonesia, yakni Metro TV.
Reporter: Intan Nadhira Safitri