MATA INDONESIA, JAKARTA – Tembakan meriam dari kapal perang Citadel van Antwerpen ke daratan Aceh pada 26 Maret 1873, menjadi seruan tersirat Belanda untuk melancarkan serangan kepada Aceh.
Inilah peperangan terpanjang Belanda menundukkan Aceh. Penduduk Aceh tentu tak tinggal diam. Sultan Aceh, Machmud Syah bersama dengan Panglima Polim pun memimpin pasukan Aceh untuk bertempur melawan pasukan Belanda sejumlah 3.198 orang. Pimpinannya saat itu Johan Harmen Rudolf Kohler, terkenal karena beringas dan sadis kepada rakyat Aceh.
Pasukan Belanda menyerbu Masjid Raya Baiturrahman kemudian membakarnya pada 8 April 1873. Namun akhirnya Kesultanan Aceh dengan pimpinan Ibrahim Lam Nga, suami Cut Nyak Dien bertarung di garis depan, dapat menaklukkan pasukan Belanda dan menewaskan Kohler.
Kembali melakukan penyerangan, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, berturut-turut dari tahun 1873-1874, Belanda berhasil menduduki daerah VI Mukim dan Keraton Sultan.
Cut Nyak Dien yang saat itu memiliki bayi terpaksa mengungsi bersama rombongan wanita dan anak-anak, sementara Ibrahim Lam Nga kembali bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Namun sayangnya, dalam pertempuran tanggal 29 Juni 1878 tersebut, Ibrahim Lam Nga tewas terbunuh. Cut Nyak Dien menyesal tidak turut membantu suaminya bertempur. Hal inilah yang menjadi penyebab kemarahan Cut Nyak Dien kepada penjajah Belanda. Ia bersumpah akan menghancurkan Belanda, yang saat itu sebutannya “Belanda Kafir”.
Setelah kematian Ibrahim Lam Nga, seorang panglima Aceh Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien. Mereka menikah pada tahun 1880. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, namun ketika Teuku Umar mengizinkannya ikut bertempur melawan “Belanda Kafir”, akhirnya ia menerima lamaran tersebut.
Hal ini dilakukannya lantaran ia sudah berjanji untuk menikah dengan laki-laki yang membantunya membalas dendam atas kematian suaminya Ibrahim Lam Nga. Bermula dari sanalah semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan Belanda. Rakyat Aceh melakukan perang sabil secara gerilya.
Di tahun 1875. Teuku Umar menjalankan siasat untuk menipu Belanda. Teuku Umar berencana bersekongkol dengan Belanda untuk menyerang Aceh, padahal sebenarnya ia berencana menyerang dan mengkhianati Belanda. Akhirnya pada 30 September 1893, Teuku Umar bersama dengan pasukannya yang berjumlah 250 orang, pergi ke Kutaraja untuk menyerahkan diri pada Belanda.
Rupanya, penyerahan Teuku Umar membuat Belanda senang dan beranggapan musuh paling berbahaya mereka mau membantu untuk menyerang Aceh. Teuku Umar menjadi komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Ia mendapat gelar “Teuku Umar Johan Pahlawan”.
Aksi penipuan terhadap Belanda ini tentu dirahasiakannya dari rakyat Aceh. Setelah bergabung dengan pasukan Belanda, Teuku Umar mempelajari strategi penyerangan Belanda dan perlahan-lahan mengganti orang-orang Belanda dengan orang-orang Aceh di unit pasukan yang ia kuasai. Setelah cukup banyak, barulah ia melancarkan aksi tipuannya kepada Belanda.
Ia pergi bersama Cut Nyak Dien dan seluruh pasukannya, lengkap dengan amunisi dan persenjataan Belanda, untuk bergerilya. Mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, akhirnya Belanda melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Tak diam saja, mereka bersama-sama melancarkan serangan balik ke Belanda.
Gubernur Jenderal Belanda marah besar. Ia pun mencopot Jenderal Jan van Swieten dengan Jenderal Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel. Nahasnya, pimpinan Belanda yang baru ini dapat dengan mudah terbunuh, sehingga pasukan Belanda pun menjadi hilang arah. Namun tetap, mereka tak akan berhenti untuk menangkap Teuku Umar dan pasukannya.
Perlawanan Teuku Umar beserta pasukannya terhadap Belanda menimbulkan ketakutan yang amat besar bagi penduduk Aceh. Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz, pimpinan Belanda saat itu, untuk menyewa penduduk Aceh sebagai informan dan menyuruhnya memata-matai pasukan Aceh.
Akhirnya rencana Teuku Umar menyerang Belanda di Meulaboh diketahui oleh pihak Belanda. Ia pun tewas tertembak peluru. Tewasnya Teuku Umar makin membangkitkan amarah dan semangat Cut Nyak Dien untuk membalas dendam. Akhirnya ia yang menggantikan Teuku Umar untuk memimpin perlawanan rakyat Aceh.
Meskipun sudah semakin tua, kesehatannya menurun, dan matanya rabun, Cut Nyak Dien bertekad dengan kekuatan yang tersisa untuk terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Anak buahnya yang bernama Pang Laot iba dengan keadaan Cut Nyak Dien, dan menawarkan Cut Nyak Dien untuk bekerja sama dengan Belanda, agar ia mendapat perawatan yang lebih baik.
Cut Nyak Dien menolak. Diam-diam Pang Laot menemui Komandan Belanda dan bersedia untuk memberitahukan lokasi-lokasi persembunyian pasukan Aceh. Namun ia bernegosiasi dan memohon agar Cut Nyak Dien mendapat perlakuan serta mendapatkan perawatan yang baik.
Pada 6 November 1905, akhirnya Belanda berhasil menangkap Cut Nyak Dien. Keadaan tubuhnya yang lemah membuatnya tak bisa melawan. Akhirnya ia pasrah. Belanda membawa dan mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang, Jawa Barat agar ia tak kembali mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Akhirnya ia menghabiskan sisa hidupnya di Sumedang hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 6 November 1908 di usianya yang ke-60 tahun. Dan pada 2 Mei 1964 Pemerintah menetapkan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional.
Reporter: Intan Nadhira Safitri