MATA INDONESIA, – Pergerakan mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS) diramalkan bakal berbalik melemah tipis pada perdagangan Senin 12 Agustus 2019.
Sebagai informasi, di akhir perdagangan Jumat pekan kemarin rupiah ditutup menguat atas dolar AS di level Rp 14.190 per dolar AS atau menguat 0,13 persen dari penutupan hari sebelumnya.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa ada sejumlah sentimen eksternal dan internal yang jadi pemberat laju rupiah di awal pekan ini.
Dari eksternal di antaranya, pertama, Bank Rakyat Tiongkok menetapkan referensi titik tengah resmi untuk yuan pada 7,0136 pada hari Jumat. Itu adalah level terlemah sejak April 2008 dan mengikuti nilai tengah hari Kamis di 7,0039 per dolar.
“Agar kebijakan nilai tukar dapat digunakan secara efektif, kita juga tidak bisa mengesampingkan depresiasi besar satu kali di masa depan, mengingat Cina telah memperketat kontrol modalnya sejak akhir 2016,” ujar Ibrahim pada Jumat sore lalu.
Namun di sisi lain, kata Ibrahim, indeks harga konsumen China naik 2,8 persen dari tahun lalu di bulan Julia tau sedikit lebih tinggi dari yang diperkirakan 2,7% pasar sebelumnya. Sementara Indeks harga produsen turun 0,3 persen selama sebulan.
Kedua, data soal klaim pengangguran mingguan negara AS turun, menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi AS masih belum mencapai setidaknya beberapa bagian pasar tenaga kerja.
”Klaim awal turun menjadi 209.000 untuk pekan yang berakhir 3 Agustus, kata Departemen Tenaga Kerja. Data untuk minggu sebelumnya direvisi untuk menunjukkan 2.000 aplikasi lebih banyak diterima daripada yang dilaporkan sebelumnya,” kata Ibrahim.
Ketiga, dalam dua hari terakhir, sudah empat bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu Selandia Baru, India, Thailand, dan Filipina.
Tidak hanya di negara-negara tetangga kita. Bahkan Jumat kemarin, Gubernur Reserve Bank of Australia (RBA) Philip Lowe memperingatkan bahwa bank sentral mungkin harus menurunkan suku bunga lagi jika pengangguran naik dan inflasi tetap lemah.
“Mungkin saja kita berakhir di batas bawah (suku bunga) nol. Saya pikir itu tidak mungkin, tetapi itu mungkin,” kata Philip seperti yang ditulis Ibrahim.
Adapun dalam Pernyataan triwulan terbaru tentang Kebijakan Moneter yang dirilis pada hari Kamis lalu, RBA memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Australia untuk 2019 dan mengatakan siap untuk melonggarkan kebijakan lagi jika diperlukan.
Menuju ke dalam negeri, sejumlah sentimen yang bakal mengaruhi pergerakan rupiah di antaranya,
Pertama, rilis data neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2019 membukukan defisit sebesar 8,4 miliar dolar AS atau setara 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka tersebut jauh lebih dalam ketimbang kuartal I-2019 yang hanya 7 miliar dolar AS setara 2,6 persen dari PDB. Bahkan juga lebih dalam dibanding Cadangan Devisa (CAD) kuartal II-2018 yang sebesar 7,9 miliar dolar AS atau setara 3,01 persen dari PDB.
“Secara keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 juga membukukan defisit sebesar 1,98 miliar dolar AS. Padahal pada kuartal sebelumnya, NPI masih tercatat surplus sebesar 2,4 miliar dolar AS,†ujar Ibrahim.
Kedua, Bank Indonesia (BI) kembali menegaskan bahwa masih terbuka ruang untuk melonggarkan bauran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga. BI juga menyatakan kebijakan akomodatif juga akan dilakukan.
”Kebijakan tersebut ditempuh sejalan dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang menurun dan stabilitas eksternal,” kata Ibrahim.
Ibrahim memperkirakan bahwa dalam transaksi awal pekan ini, rupiah masih akan dibuka menguat, walaupun akhirnya bakal ditutup melemah tipis di level Rp 14.150 per dolar AS hingga Rp 14.222 per dolar AS.