Oleh : Anindira Putri Maheswani)*
Rencana penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 perlu mendapat apresiasi bersama. Pasalnya, kebijakan ini diyakini dapat meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan nasional.
Ditengah ketidakpastian global saat ini, peran pemerintah dalam merancang strategi mitigasi yang tepat menjadi sangat krusial. Kebijakan pendukung yang mampu menjaga keseimbangan ekonomi nasional sekaligus melindungi kelompok rentan dari dampak negatif penyesuaian pajak harus segera diprioritaskan.
Langkah-langkah mitigasi yang terarah tidak hanya dapat meminimalisir risiko kontraksi ekonomi, tetapi juga memastikan tujuan jangka panjang, seperti pemerataan kesejahteraan, tetap tercapai. Program bantuan sosial, insentif pajak bagi pelaku UMKM, serta pembebasan pajak pada barang kebutuhan pokok menjadi contoh konkret kebijakan yang dapat menjaga stabilitas ekonomi.
Dalam situasi ini, pemerintah diharapkan mampu mengambil keputusan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga strategis untuk jangka panjang. Dukungan dari masyarakat dan pelaku ekonomi diperlukan agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik. Dengan mitigasi yang tepat, penyesuaian PPN tidak harus menjadi ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat perekonomian menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, memberikan pandangan bahwa penyesuaian PPN memiliki potensi besar untuk menekan daya beli masyarakat. Dalam situasi ini, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif yang relevan untuk menjaga kelangsungan pergerakan ekonomi nasional, khususnya bagi sektor usaha kecil dan mikro. Menurutnya, insentif ini penting agar masyarakat tetap memiliki daya adaptasi terhadap beban pajak yang meningkat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sudah menantang.
Selain itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga menekankan pentingnya penguatan program bantuan sosial (bansos). Ia memandang bahwa bansosadalah instrumen yang dapat menjaga daya beli masyarakat sekaligus mencegah kontraksi ekonomi akibat penyesuaian pajak.
Langkah ini dapat menjadi solusi yang efektif untuk menjaga produktivitas pelaku UMKM, mempertahankan daya saing, serta mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional yang diproyeksikan mencapai 8 persen.
Lebih lanjut, Josua melihat bahwa kebijakan penyesuaian PPN ini, bila dikelola dengan baik, dapat mendukung visi besar Indonesia Emas 2045. Dalam jangka panjang, peningkatan penerimaan pajak diyakini dapat memperkuat anggaran negara untuk pembiayaan berbagai program pembangunan. Dengan demikian, Indonesia bisa meraih posisi sebagai salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar di dunia, sesuai dengan target yang telah dicanangkan.
Namun, di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan bahwa hasil dari penyesuaian PPN ini akan dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai bentuk program sosial dan subsidi. Pemerintah berkomitmen untuk menggunakan dana tersebut demi mendukung masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan subsidi berbagai kebutuhan pokok menjadi wujud nyata dari upaya pemerintah untuk meringankan beban masyarakat.
DJP juga telah menunjukkan langkah progresif dengan memperluas lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak rendah, dari sebelumnya Rp50 juta menjadi Rp60 juta per tahun. Selain itu, Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta akan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh). Langkah ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat dan memberikan ruang bagi pelaku usaha kecil agar tetap berkembang di tengah penyesuaian pajak.
Sebagai tambahan, tidak semua barang dan jasa akan dikenakan PPN. Kebutuhan dasar seperti beras, jagung, kedelai, serta jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum dibebaskan dari pengenaan PPN. Kebijakan ini mencerminkan prinsip gotong-royong, di mana masyarakat dengan penghasilan lebih tinggi diharapkan dapat berkontribusi lebih besar, sementara kelompok menengah ke bawah mendapatkan perlindungan.
Namun, keberhasilan kebijakan ini tetap bergantung pada bagaimana pemerintah dapat mengelola implementasi penyesuaian PPN ini secara strategis. Pengawasan yang ketat terhadap penyaluran bansos dan subsidi menjadi elemen kunci agar manfaat yang dijanjikan benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi beban tambahan bagi UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Pada akhirnya, penyesuaian PPN ini dapat menjadi peluang untuk memperkuat basis penerimaan negara jika diiringi dengan langkah mitigasi yang tepat. Dengan dukungan insentif yang relevan dan kebijakan sosial yang responsif, Indonesia memiliki kesempatan untuk tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif.
Kebijakan ini harus dipandang sebagai langkah menuju masa depan yang lebih baik, di mana setiap lapisan masyarakat dapat berkontribusi sesuai kemampuannya, dan pemerintah hadir untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan menuju pemerataan ekonomi. Kini saatnya bagi pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawal kebijakan ini agar benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak, sekaligus mendukung tercapainya visi besar Indonesia Emas 2045.
)* Penulis adalah Persada Institute