MATA INDONESIA, JAKARTA – Kisah cinta Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang akrab disapa B.J. Habibie dan Hasri Ainun menjadi panutan banyak pihak. Keduanya setia bersama hingga akhir hayat.
Habibie mulai mengenal Ainun saat berusia 12 tahun. Saat itu mereka masih sekolah. Habibie sering dijodoh-jodohkan oleh Ainun. Namun dia tak tertarik pada Ainun saat itu.
Setelah lulus SMA, Habibie memilih kuliah di luar negeri. Saat Habibie pulang ke Indonesia, dia bertemu Ainun. Betapa terkejutnya Habibie saat melihat penampilan Ainun yang berubah. Dahulu saat masih sekolah dan dijodoh-jodohkan, Habibie melontarkan candaan dengan menyebut Ainun sebagai gula jawa. Namun setelah lama tak bertemu dan akhirnya berjumpa, Habibie menyebut Ainun seperti gula pasir.
Setelah sama-sama tertarik, akhirnya mereka berpacaran. Kedekatan keduanya membuat Habibie yakin dengan Ainun. Habibie resmi menikahi Ainun pada 12 Mei 1962 di Bandung dan pernikahannya dikaruniai dua putra, Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Setelah menikah keduanya memutuskan untuk terbang ke Jerman. Tiga tahun pertama pernikahan, Habibie fokus sebagai pencari nafkah dan membangun karier. Sedangkan Ainun mengurus rumah tangga.
Tiga setengah tahun pertama berumah tangga adalah waktu yang sangat menantang bagi Ainun. Ainun sempat didera kesepian di negeri orang dan itu sungguh bukan hal mudah. Ia tidak punya teman bicara. Habibie kerja sampai larut malam agar bisa lancar mendapat promosi pekerjaan.
Setelah anak-anak mereka cukup besar untuk bisa dititipkan kepada pengasuh, Ainun baru bisa ikut membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit di Hamburg.
Tapi dua tahun setelahnya Ainun justru memutuskan untuk berhenti bekerja. Keputusan itu ia ambil saat Thareq, anak bungsunya, sakit keras. Kala itu ada gejolak dalam dirinya, ia merasa bisa mengurus anak orang lain tapi lalai dalam mengurus anaknya sendiri.
Kekuatan cinta antara Habibie dan Ainun memang tak perlu diragukan, keduanya bisa saling mendukung dan melalui masa sulit bersama termasuk saat Ainun di vonis dokter menderita kanker ovarium kala itu. Saat itu Ainun menjalani pemeriksaan MRI dan dokter menyatakan Ainun menderita kanker ovarium stadium lanjut. Mendengar hal itu Habibie lantas menelepon Duta Besar Jerman di Jakarta.
“Saya tidak mau mati di luar negeri,” kata Ainun kepada Habibie. Ainun bersedia pergi bila sang suami berjanji akan membawa dirinya kembali ke Jakarta pada Desember 2010 agar bisa menghadiri rapat Bank Mata, organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi para tunanetra dimana Ainun aktif di sana. Ia yang membuat lembaga ciptaan Tien Soeharto itu kembali berfungsi. Habibie siap memegang komitmen tersebut.
Namun janji itu urung ditepatinya, Ainun wafat pada 24 Maret 2010 di Jerman setelah menjalani sembilan kali operasi. Selama sakit tak sedikitpun Habibie meninggalkan Ainun, begitu pula saat Ainun meninggal. Ini menjadi hantaman besar bagi kehidupan Habibie. Setiap hari selama 100 hari pertama, Habibie ziarah ke makam sang istri.
Setiap malam ia tidur ditemani anak dan cucu. Bahkan setelahnya selama seminggu sekali ia tetap berkunjung ke makam istrinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk mengganti bunga yang mulai layu di atas makam.
Kepedihan ditinggal istri membuat Habibie menderita penyakit psikosomatis. Dokter berkata, bila Habibie tidak melakukan apapun untuk tubuhnya, ia bisa menyusul Ainun dalam waktu tiga bulan.
Habibie memilih bangkit dan berupaya menyembuhkan diri dengan menulis kisahnya bersama Ainun. Buku berjudul Habibie & Ainun terbit pada November 2010. Setelah melalui perjuangan panjang bertahan tanpa ada sang istri yang mendampinginya, Rabu 11 September 2019 pukul 18.05 Habibie menghembuskan napas terakhir, menyusul Ainun di keabadian.