Soal Jokowi Neo-Orde Baru, Kutipan Prabowo Dibantah Penulisnya

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA-Tuduhan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menyatakan pemerintahan Jokowi bergaya otoritarian Neo-Orde Baru, ternyata tidak mendasar.

Belakangan ini terungkap bahwa pihak Prabowo mengutip kandidat doktor dari Australian National University, Tom Power. Dan penulisnya membantah analisisnya dipakai dalam kasus Pilpres di MK.

Hal itu diutarakan Tom Power kepada CNBC Indonesia. Tom Power menjelaskan artikel yang dikutip oleh tim Prabowo adalah penelitian dan analisisnya yang ditulis dan dipublikasikan di artikel jurnal ‘BIES 2018’.

“Tapi mereka menggunakan artikel ini dalam konteks yang tidak lengkap,” ujar Tom, Kamis 13 Juni 2019.

Tom memaparkan artikel yang ia tulis saat itu sama sekali tidak menyebut dan menunjukkan indikasi kecurangan pemilu yang berlangsung pada April lalu karena artikel itu ditulis enam bulan sebelum pesta demokrasi Indonesia berlangsung.

“Kedua, sangat sulit sekali menyimpulkan bahwa tindakan pemerintahan Jokowi yang saya sebutkan bisa diterjemahkan sebagai bukti kecurangan pemilu yang masif dan terstruktur,” katanya.

Lalu, penelitiannya memang menunjukkan indikasi bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap antidemokrasi, tetapi ia sama sekali tidak menyebut pemerintahan Jokowi sebagai rezim otoriter.

“Ketiga, saya sama sekali tidak mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia akan lebih baik kalau Prabowo jadi presiden,” katanya.

Sebagaimana tertuang dalam gugatan tersebut, tim hukum Prabowo-Sandiaga yang diketuai Bambang Widjojanto (BW) mengutip makalah Tom Power di konferensi tahunan ‘Indonesia Update’ di Canberra, Australia, pada September 2018.

Masih menurut BW dkk, Tom Power menyoroti hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik. “Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum,” ujarnya.

Proteksi lain adalah menguatnya lagi pemikiran dwifungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power, kata BW dkk, adalah beberapa karakteristik otoritarian Orde Baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi.

Sebagai bukti pandangan itu, tim hukum Prabowo menyertakan dua link berita, yaitu ‘Jokowi’s authoritarian turn’ dan ‘Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline’.

Mengenai karakteristik pemerintahan Jokowi mirip Orde Baru sekaligus menjelaskan bagaimana modus kecurangan pemilu di era otoritarian tersebut juga dilakukan oleh paslon 01 yang juga presiden petahana Jokowi, yaitu strategi pengerahan ‘ABG’, yang di era Orde Baru adalah poros ABRI-Birokrasi-Golkar.

“Modus ini di era pemerintahan Jokowi bereinkarnasi menjadi tiga poros pemenangan, yaitu Aparat-Birokrasi-BUMN-Partai Koalisi,” kata BW dalam halaman 38.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini