MATA INDONESIA, JAKARTA – Tim pelatih PBSI sudah menyiapkan setidaknya enam tes fisik untuk para atlet pelatnas. Serangkaian tes sudah dimulai pada Jumat 9 April 2021.
Setelah tes kesehatan pada Kamis 8 April 2021, para atlet pelatnas bulutangkis melanjutkan rangkaian tes dengan menjalani tes fisik pada di Pelatnas PBSI Cipayung, Jakarta Timur.
Setidaknya ada enam tes fisik yang harus dilewati mereka sejak pagi hingga sore hari. Tes itu terdiri dari core muscle test, vertical jump, medicine ball throw, court agility test, rast test dan bleep test.
Core muscle test adalah untuk melihat kekuatan otot core. Otot core berfungsi untuk menjaga keseimbangan yang ang berpengaruh pada fungsi gerak. Kemungkinan cedera juga bisa dilihat dari tes ini.
Vertical jump dan medicine ball throw berfungsi mengukur kekuatan tungkai dan lengan. Karena puncak dari aplikasi kerja otot dari olahraga bulutangkis adalah bagaimana atlet bisa mentransfer tenaga sekuat dan secepat mungkin ke tungkai dan lengan.
Court agility test, untuk mengukur kelincahan dan ketangkasan para atlet di atas lapangan. Sementara rast dan bleep test adalah yang berbasis lari.
Rast test mengukur daya tahan anaerobic, maksimal fatigue index, seberapa cepat recovery para atlet. Di sini, atlet melakukan sprint sepanjang 35 meter lalu istirahat 10 detik lalu mengulanginya hingga tiga kali bolak-balik atau enam lap.
Sedangkan bleep test untuk melihat kapasitas kardiovaskular. Fungsi paru-paru, jantung, dan peredaran darah mengangkut oksigen. Nantinya hasil akan keluar sebagai satuan Vo2max yang merupakan kondisi kebugaran aerobik.
“Tes fisik ini adalah rangkaian yang kita adakan untuk skrining atlet-atlet yang kita panggil. Biasanya kita buat per sektor dengan jadwal berbeda-beda. Mulai tahun ini kita satukan jadwalnya agar data yang didapatkan bisa serentak termasuk juga tes kesehatan dan psikotes-nya,” ujar Kepala Sub Bidang Pengembangan Sports Science PBSI, Iwan Hermawan.
“Dari data yang didapat dari tes ini kita bisa mengidentifikasi semua komponen dan kualitas fisik atlet-atlet kita. Lalu data ini akan kita konsultasikan ke pelatih fisik untuk menjadi sasaran-sasaran latihan. Demi meningkatkan standar seperti yang kita inginkan, terutama untuk atlet-atlet yang kondisi fisiknya masih kurang,” katanya.
Iwan menambahkan, program yang dibuat harus bersifat individual karena kebutuhan antara satu atlet dan atlet lain berbeda.
“Saya juga mendorong para pelatih fisik untuk membuat program latihan yang bersifat individualis berdasarkan hasil tes fisik ini. Agar semua atlet bisa terpenuhi kebutuhannya dan akhirnya bisa sama-sama terangkat prestasinya,” ungkapnya.