MATA INDONESIA, JAKARTA – Buya Hamka, merupakan sosok yang bisa menjadi teladan dalam toleransi beragama. Semasa hidupnya, Hamka banyak memberikan catatan seputar kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hal itu ia sampaikan melalui rubrik terkenalnya, ‘Dari Hati ke Hati’ di Majalah Panji Masyarakat.
Sosok Buya Hamka juga tak pernah setengah-setengah saat berurusan dengan keimanan. Ia bisa merespons dengan tegas, khususnya aliran-aliran yang melenceng dalam Islam.
Salah satu kesimpulan tegas yang diambilnya ialah saat adanya manusia yang mengaku sebagai nabi setelah Rasulullah SAW. Tak terkecuali orang-orang yang turut mendustakan Rasulullah SAW.
Meski begitu, Buya Hamka tak pernah mengajarkan permusuhan. Ia bahkan menganjurkan agar umat Islam bersikap baik kepada para pemeluk aliran sesat.
“Sungguhpun demikian, sebagai umat Islam yang mengakui adanya keluasan dada (tasamuh), kita akan bergaul juga dengan mereka sebaik-baiknya sebagaimana kita bergaul dengan umat Budha, umat Kristen, dan Yahudi,” kata Hamka.
Walau bersikap tenang menanggapi orang-orang yang melenceng dari Islam, Hamka tetap tidak membolehkan laki-laki non-Muslim menikahi perempuan Muslimah. Sejumlah ulama fiqih berpendapat bahwa laki-laki Muslim tak boleh menikahi perempuan non-Muslim jika imannya lemah.
Toleransi atau menghormati perbedaan khususnya dari agama lain, bagi Hamka merupakan sikap yang sejak awal telah diajarkan dalam syariat kaum muslimin serta menjadi ketinggian akhlak dalam agama.
Menurutnya, toleransi harus selalu diiringi dengan dakwah untuk mengajak manusia mengenal Islam, sebab toleransi tanpa dakwah akan mensifati kelemahan dan membuka jalan pada penjajahan.