MATAINDONESIA, JAKARTA – Penetapan hasil Pilpres 2019 sudah dilakukan oleh KPU pada Selasa 21 Mei 2019 dinihari tadi. Dalam rapat pleno KPU, pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin berhasil meraih 85.607.362 suara, sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapat 68.650.239 atau 44,50 persen suara.
Menyikapi hasil rapat pleno KPU tersebut, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi menyebutkan hal ini merupakan momentum penting bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia untuk mencermati artikulasi mandat rakyat kepada penyelenggara negara. Penetapan KPU dinilainya merupakan satu-satunya rujukan yang legitimate mengenai hasil Pemilu.
“Jika kontestan Pemilu tidak puas dengan hasil Pilpres yang ditetapkan oleh KPU, maka para kontestan dapat menggunakan satu-satunya saluran memperjuangkan keadilan elektoral dan mempersoalkan ketidakadilan—termasuk dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif, yaitu dengan mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi,” kata Hendardi dalam keterangan pers yang diterima MINEWS.ID di Jakarta, Selasa 21 Mei 2019.
Aturan main demokratis itu, lanjut dia, sudah disepakati oleh para kontestan Pemilu, jauh sebelum tahapan Pemilu dilaksanakan. Untuk itu, dirinya menegaskan bahwa setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disediakan, pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif yang sudah dituangkan di peraturan perundang-undangan.
Hendardi pun menanggapi rencana aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan Pilpres pada 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya. Menurut dia, hal itu merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural.
“Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu. Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April yang lalu.”
Dengan perspektif tersebut, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku.
Dengan demikian, Hendardi berpendapat setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera. “Berkaitan dengan itu, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demos secara keseluruhan,” ujarnya.
Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial. Terutama dari dan yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan Pemilu.
“Lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap Pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata.”