MATA INDONESIA, JAKARTA – Penyemaian ideologi radikalisme dan intoleransi di lembaga pendidikan harus dicegah karena usia anak-anak dan remaja masih rentan menjadi target propaganda narasi radikal. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi menilai bahwa orang tua harus waspada terhadap indikasi adanya insitusi pendidikan yang menjadi wadah penyebaran radikalisme dan intoleransi.
“Waspada lembaga pendidikan yang intoleran, kalau anak-anak masuk dalam lembaga pendidikan intoleran kan ini tergantung orang tuanya,” kata Islah kepada Mata Indonesia News, Senin 22 Februari 2021.
Jika tidak diantisipasi maka anak-anak bisa menganggap praktik intoleran dan radikalisme sebagai hal yang wajar. Hal ini bisa berpotensi melahirkan para teroris di usia muda.
Beberapa contoh yang sudah pernah terjadi yaitu seperti tindakan seorang pembina Pramuka yang mengajarkan tepuk tangan dan yel-yel berisi penolakan terhadap kafir. Selain itu perisitiwa serupa juga terjadi di Sragen yakni ada intimidasi dari pengurus Rohis di SMA Negeri 1 Gemolong terhadap seorang siswi karena tidak berhijab.
Bahkan baru-baru ini terjadi peristiwa serupa yaitu pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang. Peristiwa ini pun menjadi pencetus lahirnya SKB 3 Menteri yang mengatur penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah.
Tanpa sikap yang tegas, maka ideologi radikalisme bisa menyusup dan merasuki pikiran anak-anak di dalam suatu institusi pendidikan. Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menilai bahwa pemerintah harus memastikan tidak ada ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
“Materi-materi pendidikan termasuk ajaran agama dipastikan tidak menimbulkan perpecahan atau bertentangan dengan ideologi Pancasila dan prinsip kebhinekaan,” kata Stanislaus.