MATA INDONESIA, JAKARTA – Anak-anak juga bisa berperan aktif dalam kegiatan terorisme. Insiden bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya pada tahun 2018 lalu memperlihatkan bahwa peran anak tidak hanya bersifat pasif. Peneliti dari Ritsumeiken University Chaula Rininta Anindya menegaskan bahwa anak tidak bisa selalu dipandang sebagai aktor pasif dalam aksi terorisme.
“Sama juga anak, kita tidak bisa lihat mereka sebagai anggota yang pasif saja apa yang kita lihat disini kontranya juga gitu, bagaimana program di sekolah apa yg diajarkan di sekolah, apakah mereka terbuka di sekolah,” kata Chaula, Kamis 11 Maret 2021.
Ia juga mencontohkan kasus pengeboman yang terjadi di Surabaya, yaitu empat anak terlibat dalam aksi teror. Tiga orang merupakan anak dari terduga teroris bernama Anton Febriantono yang tewas setelah bom di dalam rumahnya meledak. Sementara satu orang lagi merupakan anak pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya.
Melalui fenomena ini, Chaula menegaskan bahwa anak-anak tidak hanya sekedar mengikuti orang tua namun ada keinginan juga untuk melakukan hal tersebut.
“Sekarang kita tidak bisa lihat perempuan dan anak sebagai aktor yang pasif saja jadi mereka juga punya keinginan untuk melakukan hal-hal tersebut” kata Chaula.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengemukakan bahwa berdasarkan pemetaan psikologis, anak dari mantan keluarga bom bunuh diri khususnya di Surabaya memiliki keinginan kuat untuk anti-Pancasila.
Sementara Deputi III Kerjasama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto juga mengakui bahwa ideologi radikalisme memang sudah menyentuh ke ranah pendidikan. Bahkan jalurnya bisa bersifat non-formal.
“Orang yang tidak ikut pendidikan formil kemudian sekolah di rumah, ini juga dipakai untuk proses radikalisasi itu sendiri,” kata Andhika.